Jaki mendatangi rumah Hari dengan perasaan gusar. Ia menaksir kalau kawanan binatang liarlah yang telah menggasak tanaman pisangnya. Karena itu, ia merasa harus mengambil tindakan cepat. Ia tentu tak ingin bakal penghidupannya mati sebelum menghasilkan apa-apa.
“Kenapa murung begitu, Pak?” tanya Hari kemudian, penasaran.
Jaki lantas mendengkus lesu dan menggaruk-garuk kepalanya. “Tanaman pisangku rusak, Pak.”
Seketika, Hari terkejut. “Kenapa bisa? “
Dengan raut sayu, Jaki lalu menuturkan dugaannya, “Mungkin habis diacak-acak kawanan babi atau rusa. Entahlah.”
Hari sontak merasa kasihan. “Wah, binatang liar memang kurang ajar. Harus ditangani secara serius kalau begitu. Paling tidak, Bapak harus mulai berpikir untuk memagari tanaman pisang Bapak.”
Jaki lantas mengangguk-angguk. “Karena itulah aku ke sini, Pak. Aku hendak meminjam linggis dodos Bapak untuk memagarinya.”
Atas keprihatinannya, Hari bergegas ke gudang peralatannya. Sesaat berselang, ia kembali dan menyerahkan linggis tersebut.
“Terima kasih, Pak. Siang nanti, setelah selesai aku gunakan, akan aku kembalikan,” tutur Jaki.
“Iya, Pak,” balas Hari.
Jaki kemudian berangkat ke kebunnya untuk segera menunaikan rencananya memagari tanaman pisangnya dengan tiang kayu dan palang-palang bambu.
Wajar saja kalau Jaki begitu khawatir dan lekas mengambil langkah. Pagi tadi, ia telah menyaksikan lima pohon tanaman pisang mudanya gundul. Ia mengira keadaan itu merupakan hasil perbuatan hewan liar di tengah hujan yang deras semalam. Karena itu, jika ia tak segera mengambil tindakan, tanaman pisangnya yang lain bisa saja bernasib sama.
Tentu saja Jaki tak rela kalau kawanan hewan tersebut kembali bertandang dan melahap daun tanaman pisangnya. Ia tak ingin tanaman pisangnya botak, hingga ia harus menunggu lama untuk mendapatkan hasil panen. Apalagi, ulah binatang liar bisa saja membuat batang-batang pisangnya terkoyak dan rebah, lalu mati.
Jaki memang patut prihatin. Bagaimanapun, pisang yang ia tanam merupakan pisang varietas unggul. Bibitnya dibeli dan dibawa oleh seorang anaknya dari pulau seberang. Buahnya berharga mahal di pasaran. Karena itu, ia tak ingin kehilangan potensi keuntungan dan menderita kerugian akibat tingkah para binatang.
Namun sayang, Jaki malah ditimpa kesialan. Saat ia baru menyelesaikan empat galian lubang di antara dua puluh lubang untuk tiang pagar tanaman pisangnya, gagang kayu linggis pinjamannya malah patah setelah bagian matanya membentur batu di dalam tanah. Karena itu, ia merasa bersalah telah menggunakan barang pinjaman itu secara tidak hati-hati.
Akhirnya, karena linggis tersebut rusak, Jaki menyudahi pekerjaannya ketika waktu baru menjelang tengah hari, setelah ia menunaikan pekerjaan lain beberapa lama. Ia lantas pulang dan menuju ke rumah Hari untuk menyampaikan bahwa ia telah merusak linggis milik tetangganya yang merupakan seorang peternak itu.
Jaki memang merasa sepatutnya berterus terang dan bertanggung jawab. Sebagai tetangga selang empat rumah dari rumahnya, Jaki tak ingin hubungan mereka rusak gara-gara linggis. Karena itu, ia ingin meminta waktu untuk mengganti gagang linggis tersebut dengan kayu baru yang lebih tahan, kemudian mengembalikannya beberapa hari ke depan.
Hingga akhirnya, setelah beberapa lama, Jaki tiba di kediaman Hari. Ia lantas menghampiri lelaki tersebut, kemudian berucap dengan sikap bersalah, “Pak, Maaf. Aku telah mematahkan gagang linggis Bapak.”
Hari lantas mengambil dan mengamat-amati keadaan linggis miliknya..
“Bapak tak usah risau. Biarlah aku bawa linggis Bapak itu ke rumahku untuk aku perbaiki,” sambung Jaki.
Hari lantas tersenyum. “Tak usah, Pak. Tak apa-apa. Sepertinya, gagang linggis ini memang sudah retak dan rapuh sebelum Bapak gunakan.”
“Tetapi bagaimanapun, akulah yang memakai linggis Bapak sampai rusak. Aku sepatutnya bertanggung jawab,” sanggah Jaki.
Hari malah menggeleng-geleng. “Tidak perlu, Pak. Jangan merasa bersalah. Gagang linggis ini memang sudah waktunya patah. Bapak hanya memakainya di waktu yang tidak tepat.”
Sontak saja, Jaki terheran atas pemakluman tulus Hari.
“Apalagi, perkara kerusakan linggis ini, tak ada apa-apanya dengan kesalahanku terhadap Bapak,” tutur Hari, tampak segan. “Sebenarnya, akulah yang semestinya meminta maaf dan bertanggung jawab kepada Bapak.”
Jaki pun bertanya-tanya. “Memangnya, Bapak telah melakukan kesalahan apa kepadaku?”
Hari lantas menghela dan mengembuskan napas yang panjang. Tampak berusaha menenangkan dan menguatkan hatinya untuk berkata jujur. Hingga akhirnya, ia bertutur, “Sebenarnya, tanaman pisang Bapak bukan dimangsa oleh babi atau rusa, tetapi oleh kambing peliharaanku.”
Seketika, Jaki terkejut. “Bagaimana bisa?”
“Tadi, anakku mengaku kalau kemarin sore, dua ekor kambing peliharaan kami lepas dari ikatannya, hingga ia menjelajah dan menyeberang ke kebun Bapak,” terang Hari dengan perasaan canggung. “Anakku itu memang belum bisa diandalkan dalam menyimpul ikatan tali.”
Jaki hanya mengangguk-anggu.
“Jadi, apa yang harus kulakukan untuk menebus akibat dari ulah kambingku itu, Pak?” tanya Hari kemudian.
Jaki lekas menggeleng dan melayangkan senyuman. “Bapak tak usah pikirkan soal itu, tak apa-apa, kok. Itu jelas bukan hal yang disengaja. Itu malah membuatku sadar untuk segera memagari tanaman pisangku agar benar-benar terhindar dari garongan hewan liar.”
Hari pun tersenyum lega. “Terima kasih atas pengertian Bapak.” Jaki kembali mengangguk-angguk dengan perasaan pilu. Ia lantas melayangkan senyuman yang kaku, kemudian pamit dan pulang.
Karya: Ramli Lahaping
Twitter (@ramli_eksepsi) atau Instagram (@ramlilahaping).