Tulisan ini adalah refleksi dari apa yang saya dapatkan dari meja kopi dan saya berada di organisasi.
Saya kira ‘ngopi’ ditelinga mahasiswa sudah lazim didengar dan menjadi suatu hal yang dapat kita jumpai di beberapa warung kopi. Dalam warung kopi kita melihat modus kumpul yang beragam. Ada yang hanya sekedar kumpul saja, main bareng(mabar), pacaran, main uno, berdiskusi dan banyak hal yang saya kira kita tahu bagaimana realitanya.
Terlepas dari bagaimana realita ‘ngopi’ yang kita ketahui, beberapa bulan yang lalu di tulisan saya yang termuat dalam zona intelektual.com tentang ‘upaya penguatan intelektual mahasiswa’. Terpapar disana bahwa seorang mahasiswa harus mampu mengembangkan serta mengaplikasikan ilmu yang ia dapatkan.
Bagaimana Ali Shariati memberi nasehat membentuk manusia yang intelek, yang oleh Antonio Gramsci menyebutkan untuk menjadi intelek yang organic. Intelektual organic maksudnya kita dengan sadar dibantu dengan pengetahuan yang dimiliki membangkitkan kesadaran akan perlawanan terhadap masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, kita harus paham apa sebenarnya fungsi dari kita menjadi manusia yang secara khususnya menjadi mahasiswa.
Diskusi di Warung Kopi
Saya kira kita biasa berdiskusi tentang suatu masalah di sebuah warung kopi. Didalam diskusi kita berdialektika demi pemecahan suatu masalah. Akan tetapi, acap kali diskusi itu hanya menjadi diskusi tanpa aksi, diskusi yang kemudian mati atau diskusi yang kemudian didiskusikan kembali hingga berputar disitu situ saja tanpa ada langkah apapun. Sehingga wajar saja kalau kita tertinggal.
Sehingga ‘kesadaran individu’ diperlukan sebagai landasan dalam berbagai hal. Dengan kesadaran individu pula kita bisa paham apa yang sebenarnya terjadi pada diri sendiri. Dimana individu berkaitan dengan dunia luar, sehingga kesadaran individu juga menuntut untuk paham dengan apa yang disekitarnya.
Walaupun kesadaran individu menjadi point utama, pun diperlukan kesadaran yang lain sehingga efek yang diberikan semakin luas. Ada enam macam kesadaran yang disebutkan pak kuntowijoyo dalam buku “islam sebagai ilmu”, yaitu (1) kesadaran adanya perubahan, (2) kesadaran kolektif, (3) kesadaran sejarah, (4) kesadaran adanya fakta social, (5) kesadaran adanya masyarakat abstrak, (6) kesadaran perlunya objektifikasi.
Kesadaran Adanya Perubahan
Bagaimana kita lihat kondisi saat ini. Misalnya saja kuliah offline. Bagaimana kita menggambarkan kuliah offline sebagai suatu hal yang paling efektif. Sementara pandemic melanda mengharuskan untuk di rumah saja. Sehingga munculnya media zoom, google meet, sampai hampir saja semua peran ruangan di gedung bertingkat tergantikan oleh aplikasi yang dibuat. Dan saya kira banyak contoh yang dapat kita ambil, misalnya saja KPK yang suasananya mencekam. Bagaimana kenyataan kecil ini menunjukkan akan perlunya kesadaran tentang adanya perubahan.
Kesadaran Kolektif
Bagaimana kesadaran kolektif berada dalam wujud yang nyata, dalam artian ia mempunyai bentuk yang jelas. Jika tidak bisa mempunyai suatu bentuk, setidaknya ia mempunyai isi atau substansi yang sama. Sehingga siapapun dia, jika mempunyai isi atau substansi yang sama ia tetap bisa menyuarakan apa yang menjadi kebutuhan dalam hal kolektif. Sehingga kesadaran kolektif menjadi penting untuk menyelesaikan suatu problematika yang ada.
Kesadaran Sejarah
Kesadaran sejarah ialah kesadaran bahwa umat sebagai kolektivitas adalah unit sejarah yang mau tidak mau terlibat dalam arus perkembangan(kuntowijoyo:2006). Sehingga kita harus mau terlibat langsung kedalamnya, memposisikan diri sebagai subjek dalam menentukan sejarah kita sendiridan tidak menjadi objek dengan hanya mengikuti arus atau dikendalikan dengan kekuatan sejarah itu sendiri. Perlu dipahami bahwa kesadaran masa depan jangan sampai hanya dikaitkan dengan individu dan tidak mengaitkannya dengan umat secara umum.
jika kita dalami, ada titik keberlanjutan antara kesadaran individu ke kesadaran kolektif ke kesadaran sejarah. Misalnya saja, kesadaran kolektif tentang menjaga Indonesia. Kesadaran kolektif tentang menjaga Indonesia tidak secara merata menjadi kesadaran sejarah. Ketika sebagian menyusun dan mengadakan langkah langkah dalam menjaga Indonesia, sebagian lainnya tidak mendukung atau bersifat apatis dan parahnya lagi ada yang sampai menjadi penyebab kerusakannya atau mendukung hal yang berpotensi merusak Indonesia. Dan saya kira ada banyak contoh yang bisa kita dapatkan.
Kesadaran Adanya Fakta Sosial
Bagaimana kita melihat apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga kesadaran individual kita harus meretas batasnya sehingga pengetahuan yang dimilikinya sampai pada hal non individual. Bagaimana sebenarnya kondisi yang terjadi saat masa nabi, masa dinasti, masa kemerdekaan, masa modern, masa postmodern, bagaimana kapitalisme berkuasa, bagaimana sosialisme ditumbuhkan dan banyak lagi. Atau misalnya saja, bagaimana tauhid social karya pak Amien Rais itu muncul.
Kesadaran Adanya Masyarakat Abstrak
Berada di zaman modern ini akan banyak sekali masyarakat abstrak terbentuk. Bagaimana tidak, ia terbentuk oleh sebuah system. Dalam perusahan misalnya, yang mengatur bukan lagi orang tapi system yang dibuat. Sehingga seseorang harus mampu menyesuaikan diri dengan system. Dan perlu kita ketahui bahwa system bersifat objektif bukan pada hal yang subjektif. Saya kira ini sejalan dengan tulisan saya beberapa hari yang lalu yang termuat dalam Madrasah Digital dengan judul “Peran Agama Di Ruang Publik;Menilik Gagasan Habermas”. Dimana dijelaskan bahwa ruang public adalah wadah diskursif bagi masyarakat plural yang didalamnya orang beragam dan tidak beragama hidup, sehingga opini atau gagasan yang dibawa harus bersifat rasional, objektif.
Kesadaran Perlunya Objektifikasi
Masyarakat plural yang ada harus dapat diterima oleh kita. Karena salah satu konsekuensi dengan adanya kebangsaan adanya masyarakat plural yang dapat diterima. Sebagaimana Hizba M.A dalam tulisannya “Perlukah Ruang public Untuk Agama Dibuka Oleh Pemerintah” dimana pada akhirnnya ia menjelaskan tentang makna objekktifikasi yaitu penerjemahann nilai nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif. Kemudian lanjutnya, objektifikasi adalah perbuatan rasional-nilai yang diwujudkan kedalam perbuatan rasional., sehingga orang luarpun dapat menikmatinya tanpa harus menyetujui nilai asalnya. Yang pada akhirnya objektifikas ditujukan agar nilai dari sesuatu itu diterima.
Pada Warung Kopi
Di warung kopi, kirannya kita bisa saling bertukar gelisah. Gelisah akan bacaan tentang problematika saat ini atau problematika yang akan kita hadapi kedepannnya. Problematika kehidupan, agama, social, politik, ekonomi dann lain sebagainya.
Di warung kopi, kiranya kita bisa berdialektika untuk pembahasan dan penyelesaian gelisah yang dihadapi. Berdialektika dengan baik, yaitu dengan argument yang jelas serta konkrit disertai langkah yang baik. Dimana suatu gelisah tak hanya dilihat dari satu sudut pandang saja, tapi dilihat dari berbagai sudut pandang atau multidimensional.
Sehingga dari warung kopi kita bisa fokus melakukan sebuah gerakan yang terorganisir terhadap gelisah yang kita hadapi. Dimana kesemua ini merupakan suatu rangkaian tentang bagaimana memahami atau menjadi manusia yang intelek. Kemudian perlu kiranya kita memaknai focus itu bukan hanya pada satu hal, akan tetapi melakukan banyak hal dan terorganisir. Terakhir dari refleksi ini adalah jangan biarkan ngopimu sia-sia, yang hanya datang kemudian pulang tanpa perubahan. Tapi, jadikan ‘ngopi’mu sebagai wadah untuk menciptakan perubahan, menciptakan pergerakan yang bermanfaat bagimu pun bagi orang lain. “khairunnas anfa’uhum linnas”. Manusia tak ada yang sempurna, ihktiar dan tawakal.
Oleh : Saipul Haq