Medan-Berbicara tentang Trilogi dalam ruang lingkup Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah bukanlah sebuah hal yang tabu untuk didengar dan dibicarakan lagi. Trilogi menjadi ikon dan identitas bagi gerakan organisasi kemahasiswaan ini. Trilogi IMM yang dikenal dengan Keagamaan, Kemahasiswaan dan Kemasyarakatan/Kemanusiaan merupakan wadah perjuangan dan gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Namun, Trilogi banyak dimaknai oleh kader-kader IMM secara normatif-simbolik , dihafal ketika mengikuti Darul Arqam Dasar kemudian diingat atau bahkan dilupakan. Proses pemaknaan terhadap Trilogi tersebut tidak dilakukan secara mendalam dan filosofis oleh kader-kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Padahal, ini merupakan hal yang sangat krusial untuk diimplementasikan sehingga tidak dijadikan sebagai simbolitas semata. Trilogi merupakan hal yang sangat prinsip dan vital, tanpa adanya Trologi ruh ikatan akan memudar dan tidak menemukan arah. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kader untuk bisa memahami, menerjemahkan dan menggerakkan Trilogi ke dalam tatanan praksis gerakan atau tidak sebatas tingkatan wacana dan nilai.
Kecenderungan pemahaman Trilogi oleh kader-kader IMM yang cenderung normatif-simbolik ini telah menjadikan program-program yang dijalankan merupakan program jangka pendek, mengedepankan eksistensi daripada esensi dan keberadaannya tidak mampu dirasakan oleh masyarakat alias materi oriented. Sebagai contoh, penafsiran terhadap nilai keagamaan dilakukan dengan pola simbol bentuk pakaian, bukan dengan kesadaran kritis tentang keimanan dan keberagaman. Menerjemahkan nilai kemahasiswaan dengan rentetan diskusi dan seminar/webinar, bukan dengan cara berpikir kritis dan ilmiah. Kemudian memahami kemanusiaan/kemasyrakatan dengan beragam bakti sosial atau kegiatan yang bersifat jangka pendek bukan yang sifatnya jangka panjang seperti pemberdayaan dan advokasi.
Oleh karena itu, sebagai sebuah identitas Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Trilogi harus dijadikan alat perjuangan, alat untuk merumuskan kebijakan kebijakan baru yang mencerahkan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya.
Trilogi Ikatan
Trilogi dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merupakan hal yang sangat penting dan memiliki makna filosofis yang harus ditransformasikan dalam bentuk praksis. Tetapi, pada kenyataannya banyak dari kader-kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah memahami Trilogi secara normatif-tekstual saja. Dalam suatu riset sederhana yang dilakukan oleh Markhus Ahmadi menunjukkan bahwa 53 % kader IMM menjadikan Trilogi sebagai nilai gerakan, 27 % menjadikan Trilogi sebagai identitas organisasi dan 20 % menyatakan bahwa Trilogi sebagai pola gerakan. Penting untuk digaris bawahi disini adalah trilogi sebagai nilai gerakan dan sebagai pola gerakan. Dari data tersebut menunjukkan bahwa kader IMM masih banyak memahami Trilogi sebagai nilai gerakan bukan sebagai pola gerakan.
Pemahaman Trilogi sebagai nilai gerakan bukanlah suatu hal yang salah, justru hal itu sangat dibutuhkan untuk memformulasikan nilai tersebut ke dalam pola gerakan yang sistematik. Pola gerakan yang disusun dan dirumuskan melalui konsep yang matang akan berorientasi kepada modus operandi dan target gerakan. Apabila target gerakan tercapai (target oriented) dan dilakukan secara berkelanjutan akan memunculkan eksistensi yang esensi yang akan membranding ikatan ini agar lebih menarik.
Trilogi merupakan kesatuan integral, antara yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan. Keagamaan, Kemahasiswaan dan Kemasyarakatan merupakan cerminan dari realitas pada diri ikatan untuk melakukan transformasi sosial.
Keagamaan
Seperti dalam butir pertama dalam 6 penegasan IMM bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam, sehingga gerakan IMM tidak bisa dilepaskan dari Islam itu sendiri. Keagamaan merupakan hal yang fundamental dalam gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, sehingga landasan perjuangan, etika berpakaian, berbicara dan berperilaku kader IMM haruslah berasaskan ajaran Islam.
Keagamaan merupakan wadah dalam rangka membangun peradaban. Dalam membangun peradaban tersebut, Hasan Hanafi menyebutkan bahwa seorang kader harus menguasai tiga tradisi keagamaan yakni tradisi klasik, tradisi sekarang (oksidentalism) dan tradisi masa depan. Pertama, tradisi klasik dimana agama dijadikan sebagai semangat untuk melakukan pembebasan dan upaya praksis sosial. Kedua, oksidentalisme dimana ummat Islam harus mampu melihat, memilih dan memilah peradaban Barat yang sangat maju dan belajar dari kemajuan tersebut dan diaplikasikan dalam kehidupan ummat Islam, sehingga ummat Islam tetap mampu menjadi hamba yang taat kepada Allah SWT tanpa mengabaikan kehidupan dunia dan bersaing dengan peradaban Barat. Ketiga, tradisi masa depan dimana tradisi ini bersentuhan dengan tradisi sekarang. Tradisi ini memerlukan penggalian dan pemaknaan ajaran agama yang bercorak liberatif, emansipatoris, berpihak dan tidak bebas nilai.
Tradisi keagamaan yang seperti inilah yang harus dipahami, dikaji dan diaplikasikan oleh kader-kader IMM dimanapun berada. Kader IMM harus mampu memadukan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial sehingga Islam mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin dalam mewujudkan Islam yang damai dan penuh kasih sayang. Bahkan menurut Sakib Arslan penyebab mundurnya kaum muslimin dan negara maju lainnya adalah karena ummat muslim lebih banyak berdoa daripada berusaha, merasa menjadi ummat yang paling mulia serta enggan untuk belajar dengan kemajuan negara Barat.
Seharusnya ibadah ritual yang dilakukan oleh kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tidak lantas membuat mereka jumud dan hanyut dalam romantisme ibadahnya kepada Allah SWT , tetapi menjadikan ibadah apapun itu baik sholat, puasa dan ibadah lainnya sebagai konsekuensi untuk lebih peduli terhadap permasalahan sosial dan ikut berpartisipasi dalam memecahkan persoalan dunia.
Kemahasiswaan
Ruang lingkup gerakan ikatan yang kedua dalam Trilogi adalah kemahasiswaan. Mahasiswa dikenal dengan generasi yang memiliki sensitifitas sosial yang tinggi terhadap masyarakat dan ilmu pengetahuan. Masyarakat sasaran kegiatan IMM adalah mahasiswa atau intelektual. Menurut Rifma Ghulam Dz intelektual bersifat reflektif dan mencerahkan, sehingga seorang intelektual akan menjadi cahaya dalam kegelapan dan kebodohan. Karakteristik personal seorang intelektual adalah mereka yang menjadikan berpikir menjadi kerja dan tidak puas akan keadaan atau realitas yang ada. Kemudian seorang intelektual juga orang-orang yang mempunyai fungsi sosial tertentu. Mereka tidak sekedar ada, tetapi juga mengada. Intelektual bukan hanya didefinisikan sebagai seorang yang mempunyai segudang ilmu pengetahuan, memiliki kecakapan dalam berargumentasi dan pintar dalam berdiskusi tetapi seorang intelektual lebih daripada itu, mereka adalah orang-orang yang tercerahkan untuk melakukan praksis sosial dan terlibat dalam aksi kemanusiaan.
Menarik untuk dibahas tentang apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo dalam menggambarkan sosok intelektual. Dalam sebuah tulisannya, Kuntowijoyo mengatakan “Sebagai sebuah hadiah, malaikat menanyakan padaku apakah aku ingin berjalan di atas mega dan aku menolak karena kakiku masih di bumi sampai kejahatan terakhir dimusnahkan dan sampai dhu’afa dan mustadh’afin diangkat Tuhan dari penderitaan”. Dari tulisan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa ciri seorang intelektual itu adalah mereka yang sudah memiliki ilmu yang tinggi dan mapan, namun ilmu pengetahuan yang mereka miliki lantas tidak menjadikan mereka sombong dan membiarkan manusia lainnya tetap dalam kebodohan, kemelaratan dan kemiskinan. Tetapi dengan keilmuan yang mereka miliki menjadikan intelektual ini kembali lagi terjun ke masyarakat untuk melakukan transfering knowledge dan sharing apapun yang bisa memberikan kebermanfaatan bagi orang banyak.
Seorang intelektual merupakan penafsir jalan hidup manusia, mengembangkan kebudayaan luhur, memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi yang dengan kesadaran itu memunculkan keprihatinan yang mendorong diri untuk melakukan transformasi sosial.
Kemasyarakatan/Kemanusiaan
Wujud dari religiusitas dan intelektualitas seorang kader IMM haruslah dimanifestasikan dalam ruang lingkup kemasyarakatan, karena tanpa itu semua gerakan IMM tidak ada bedanya komunitas ataupun perkumpulan yang hanya mengedepankan kepentingan pribadi/kelompok semata. Perjuangan kemanusiaan harus dilakukan oleh kader-kader religius dan kader-kader intelektual yang dalam dirinya memiliki nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam gerakan kemanusiaan, Kuntowijoyo memperkenalkan apa yang disebut sebagai Intelektual Profetik. Istilah intelektual profetik disematkan pada orang-orang yang memiliki kesadaran diri, alam dan Tuhan. Mereka akan menisbatkan semua potensi yang mereka miliki kepada masyarakat sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT (transendensi). Semangat yang diusung adalah semangat profetik (kenabian) yang mewujudkan wajah Islam yang penuh kedamaian, kasih sayang dan kepeduliaan terhadap sesama manusia tanpa memandang agama, ras, kedudukan dan latar belakang sosio-kulturalnya.
Doktrin Al-Ma’un yang diajarkan oleh Ahmad Dahlan merupakan landasan teologis untuk membebaskan orang tertindas secara kultural dan struktural, seperti buruh, tani, nelayan dan pelacur sekalipun. Tidak hanya berhenti disitu, etos Al-Ma’un juga mengajarkan akan kepeduliaan terhadap kaum minoritas, seperti Ahmadiyah di Indonesia yang menjadi kelompok keagamaan yang mengalami persekusi. Nasib orang-orang Ahmadiyah bahkan lebih buruk dari orang kafir sekalipun, dari 265 kasus intoleransi agama di tahun 2008, 193 kasus (73%) berkaitan dengan Ahmadiyah.Kader IMM sebagai intellectual capital juga harus mampu menjadi social capital yang ditransformasikan menjadi social power untuk mengubah tatanan sosial yang tidak adil menjadi egaliter. Kader ikatan adalah orang-orang yang pro rakyat, menyampaikan aspirasi rakyat dan berupaya menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Sebagaimana dalam Tema Muktamar IMM ke 11 di Bali tahun 2003 yaitu “Gerakan IMM untuk Pencerahan dan Kemandirian Bangsa”, IMM harus mampu mentransformasikan gerakan untuk relasi sosial yang lebih emansipatoris untuk menjadi garda terdepan dalam menegakkan keadilan dan menentang kedzaliman.
Kedudukan Trilogi dalam Ikatan
Dalam ikatan Trilogi merupakan hal yang substansial-aplikatif. Trilogi menjadi hal yang esensial sekaligus eksistensial, ia tidak hanya dipahami saja namun pemaknaan dan pengaplikasiannya adalah hal yang paling penting. Trilogi harus diletakkan sebagai kata benda (noun) dan juga kata kerja (verb), misalnya keagamaan (agama) yang merupakan kata benda yang tidak bergerak harus diejawantahkan dalam bentuk ibadah ritual dan ibadah sosial. Kemahasiswaan diwujudkan melalui aktifitas berpikir kritis dan modus operandi serta kemasyarakatan diaplikasikan dalam bentuk praksis sosial.