OLEH: CAHYATI DAULAY
PADANGSIDIMPUAN-Sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka pada tahun 1945 sampai tahun 2021 dalam rentang waktu tujuh puluh enam tahun jika kita melihat kembali kebelakang ternyata ada fakta bahwa belum ada Undang-Undang yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang isinya secara spesifik memuat tentang aturan kepastian hukum bagi perempuan korban kekerasan seksual.
Maraknya kasus kekerasan seksual dan tingginya jumlah kasusnya setiap tahun menjadi keprihatinan dan luka mendalam bagi kita khususnya kaum perempuan.
Seiring dengan perjalanan panjang kemerdekaan indonesia tidak kalah panjang juga dengan perjalanan rancangan pembentukan Undang-Undang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Perjalanan sepuluh tahun RUU TPKS hingga disahkan menjadi Undang-undang tentunya menuai banyaknya pro dan kontra saat pembentukan Undang-Undang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS), baik itu didalam tubuh fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mana ada beberapa fraksi yang tidak mendukung RUU tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) dimasukkan kedalam prolegnas begitupun masyarakat yang beragam dari berbagai profesi tentunya ada pro dan kontra.
Namun, setelah Undang-Undang ini disahkan tentunya menjadi nafas baru bagi para pencari keadilan.
Undang-Undang TPKS merupakan Undang-Undang yang mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Yang telah disahkan pada tanggal 22 april tahun 2022 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah disahkan menjadi Undang-Undang tentunya ini menjadi dasar atau landasan yang utuh dan formil untuk mencari keadilan dan kepastian hukum bagi perempuan korban kekerasan seksual.
Undang-Undang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) sebagai nafas baru bagi para pencari keadilan adalah salah satu bentuk capaian wakil rakyat untuk memberikan keberpihakan kepada korban kekerasan seksual yang didalamnya memuat hak korban, hak keluarga korban, ahli dan pendamping yang memastikan keadilan bagi korban, pemulihan dan perlindungan. Tidak sampai disitu saja Undang-Undang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) ini memuat tentang pemberian restirusi kepada korban, restirusi yang diputuskan oleh hakim akan dibayarkan oleh pelaku. Besaran restirusi adalah hasil perhitungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sejak awal telah melakukan koordinasi horizontal dengan polisi dan jaksa yang menangani kasus tersebut.
Satu tahun setengah setelah disahkannya RUU tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang maka secara otomatis jika ada kasus kekerasan seksual maka payung hukum yang akan digunakan adalah Undang-Undang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Didalam Undang-Undang ini telah memuat hukum acara secara komperehensif dan detail tentang tata cara pelaporan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang hingga eksekusi putusan pengadilan.
Penerapan Undang-Undang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) tidak serta merta terjalankan sesuai dengan amanat Undang-Undang ini dikarenakan ada beberapa tantatangan diantaranya sebagai berikut:
Masih tingginya presfektif budaya patriarki didalam masyarakat dan Aparat Penegak Hukum (APH) hal ini berdampak pada melambatnya proses pengungkapan dan penanganan kasus kekerasan seksual.
Belum adanya peraturan turunan dari Undang-Undang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS).
Aparat Penegak Hukum (APH) yang belum menggunakan Undang-Undang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) dan penanganan kasus kekerasan seksual karena belum adanya aturan turunan, meskipul kapolri telah menerbitkan telegram tentang implementasi UU TPKS.
Akses layanan yang masih terbatas, antara lain: belum semua daerah memiliki UPTD PPA serta ketidaksiapan personil bagi yang telah memilikinya, seperti tidak tersedianya psikologi dan pendamping.
Mininya perlindungan terhadap korban dan perndamping
Masih banyaknya kasus kekerasan seksual yang diselesaikan tidak sesuai dengan mekanisme pengadilan/restoratif justice.
Tantangan penerapan Undang-Undang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) tentunya harus segera ditangani agar Undang-Undang ini dapat diimplementasikan dengan baik melalui turunan dari Undang-Undang TPKS. Dan semua kasus kekerasan seksual penyelesaian perkaranya harus dilakukan di dalam pengadilan. Seterusnya untuk menunjang penerapan Undang-Undang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) kita harus menganggap bahwa UU TPKS merupakan amunisi untuk membangun peradaban indonesia yang menghormati hak asasi perempuan dan anak, Undang-Undang ini diharapkan dapat merubah paradigma kita tentang kekerasan seksual, berhenti menyalahkan korban, dan semua pihak harus menjadi bagian untuk mengimplementasikan UU TPKS baik itu di ruang lingkup perguruan tinggi, CSO, pesantren, media dll. Berbagai elemen ini haruslah mengambil peran sosialisasi, pembentukan satgas, mengawal turunan dll.