Tidak kita membenci, apalagi menghakimi. Hasrat baik dari setiap anak bangsa yang ingin menjadi seorang pemimpin di negara yang kita cintai ini. Darah dan air mata telah menjadi saksi, bagaimana perjuangan tokoh-tokoh bangsa untuk memperjuangkan kegetiran dan kepahitan jalan hidup sewaktu bangsa Indonesia ini didera oleh kolonialisme.
Kerja serabutan, pakaian yang tak mewah dan megah, hasrat untuk membohongi dalam wajah pencitraan tidak dilakukan, tubuh kurus dan kerempeng karna kurang makan dan kurang tidur, keterasingan dan sunyi di ruang penjara menjadi sajian takdir yang suka tidak suka harus di nikmati. Singkatnya, mereka berjuang dan berpikir atas nama ke Ikhlasan. Itulah mereka yang kini kita kenang sebagai pahlawan dan negarawan bangsa Indonesia. Pada akhirnya mari kita ucapkan terimaksih atas pengorbanan dan pengabdian kalian untuk rakyat, bangsa, dan negara ini.
tetapi kini, kita. hidup dalam suatu suasana yang memperlihatkan atau mempertontonkan kegilaan yang telah memenjarakan kita sebagai manusia dalam sifat kebinatangan, mengembara melampaui setiap fantasi: korupsi, kekerasan, bercak darah, dan kematian. Siapa yang harus kita persalahkan di kondisi yang lupa diri ini, kalau bukan kita sebagai manusia. Itulah wajah yang kita lihat hari ini, di negara ini.
Kita hidup dalam suatu era kejahatan yang maha sempurna—ada kejahatan-kejahatan yang berlandakan nafsu dan ada pula yang berlandaskan logika—batas antara keduanya ternyata tidak jelas. Yang paling ironis di era kejahatan ini adalah bahwa para penjahat itu kini bukan lagi anak-anak yang nakalnya minta ampun yang memakai dalih cinta kebangsaan dan kenegarawanan dalam bertutur di ruang publik saat mengkempanyekan program-program kerja yang akan di eksekusi ketika terpilih menjadi pemimpin. Tetapi meraka itu adalah orang-orang dewasa dan mereka mempunyai ‘alibi’ yang sempurna untuk di argumentasikan kepada masyarakat yang di pergunakan untuk mencapai tujuan meraka menjadi penguasa di negara ini (Presiden maupun DPR)—bahkan yang paling menyesak di hati, kekuasaan di pergunakan sebagai alat untuk mengubah pembunuh-pembunuh menjadi hakim-hakim yang menentukan ke adilan dan ketidak berdosaan.
Itulah wajah kehidupan politisi kita hari-hari ini. Atas nama demokrasi, kita hidup dalam ketidak dewasaan dan lahirnya suatu peradaban berwajah ketidak bermoralan dalam kekuasaan yang di amanahkan kepada elit-elit politisi di negara ini. Pada akhirnya mereka berkata: right or wrong my country (benar atau salah, aku tetap setia pada negeriku), ungkapan yang membosankan.
Atas wajah yang menakutkan itu, seketika kita ingat apa yang penah kita dengar dari seorang sejarawan Inggris di abad ke-19, Lord Acton, berkata tentang—“power tends to corrup, absolute power corrupts absolutely—(kekuasaan cendrung korup, kekuasaan mutlak korupnya pun mutlak pula)’’.
Abad Informasi: Pembangunan Citra dan Wajah Ganda Politisi
Di atas—telah lantang kita uraikan wajah kehidupan politisi kita hari-hari ini. Selintas seketika kita menghayati makna subtansial dari apa yang di uraikan tersebut, kita akan berimajinasi untuk membayangkan betapa horor dan menakutkannya kondisi kehidupan kita saat ini. Di sadari atau tidaknya, itulah wajah politisi yang sedang kita perdebatkan saat ini.
Saat ini, basa-basi politisi telah mengubah wajah politisi menjadi wajah ganda; wajah arif bijaksana sekaligus licik, wajah luhur sekaligus busuk, wajah jujur sekaligus penuh tipu daya, wajah penuh kemanusian sekaligus anti-kemanusian, wajah moralis sekaligus berwajah imoralis, politicum horrobillis—itulah gambaran mengenai citra politisi yang dideskripsikan oleh seorang Akademisi dan Pemerhati Kebudayaan Indonesia, Yasraf A. Piliang dalam bukunya yang berjudul—TRANSPOLITIKA: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas.
Kira-kira begitulah politisi kerap tampil dengan wajah sangat kelam, ketika politik dibangun oleh aktor-aktor yang penuh akal busuk, pikiran kotor, rencana jahat, skenario menakutkan, sifat rakus dan hasrat yang tak terbendung.
Sungguh, kita terpancing untuk mempertanyakan mengapa wajah politisi membosankan dan menakutkan di era abad informasi ini? Apakah memang begitu demokrasi pada hakikatnya dilaksanakan di era abad informasi, dalam memperebutkan kekuasaan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, semoga kita tidak meninggikan ambisius untuk berharap dengan ‘tepat’ dalam mejawab pertanyaan tersebut. Tetapi disini akan dikemukakan suatu jawaban oleh Michel Foucault—seorang filsuf dan sosiolog yang pemikirannya relevan dipakai untuk memahami fakta sosial dan perkembangan budaya era ini—katanya, bahwa “barang siapa yang tidak mampu mengatasi kecepatan didalam abad informasi dewasa ini, maka sesungguhnya ia tidak mempunyai kekuasaan apa-apa”. Bersandar dari argumentasi Focault tersebut, dapat kita ambil suatu pemahaman bahwa dunia politik di abad informasi, yang di dalamnya salah satu alat pemasaran yang di gunakan oleh para politisi untuk mendapatkan kekuasaan adalah penciptaan citra dirinya sendiri dan berwajah ganda. Maka dari keterangan tersebut, dapatlah kita benarkan bahwa tidak ada seorang politisi ingin terlihat buruk di hadapan rakyatnya yang akan bersimpatik dan pada akhirnya akan memilihnya menjadi pemimpin di negara ini.
Gambaran di atas, serta pengamatan terhadap realitas, kita dapat menyajikan suatu paradigma mengenai politisi di era demokrasi dalam meraih kekuasaan bahwa kekausaan akan di raih atas dasar ‘siapa yang memiliki massa maka dialah yang akan berkuasa’. Pergeseran paradigma ini tidak lagi memberikan arti yang sesungguhnya mengenai demokrasi—dimana kita memahami bahwa demokrasi memiliki nilai-nilai; persatuan, kemerdekaan dan keadilan.
Ada adagium penegasan mengenai the essence of politics dari seorang filsuf terkemuka—Ernesto Laclau, dkk dalam bukunya—Hegemony and Socialist Strategy, bahwa “politik tidak sekedar pertarungan kekuasaan (will to power), tetapi proses perjuangan gagasan, ide, keyakinan dan nilai-nailai; sebuah pertarungan konsepsi ideologis yang luhur”.
Merajut Paradigma mengenai Demokrasi
Memang masalah kita di era abad informasi ini adalah “kecairan politik”—sehingga cara memaknai demokrasi pun berfariasi hingga pada akhirnya demokrasi menjadi suatu konsep yang buruk rupa, bahwa demokrasi yang terbangun adalah demokrasi yang rentan karena diwarnai oleh berbagai pembusukan politik dan pergolakan politik yang berkepanjangan.
Seorang Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton pernah berkalimat-kata dengan penuh percaya diri mengucapkan bahwa dukungan terhadap demokratisasi akan mencegah perang anatar negara maupun perang saudara. Tetapi aneh, ungkapan itu sampai hari ini tidak terbukti, malah yang terjadi sebalikya.
Dimana dinegara kita tatanan moral akhir-akhir ini tengah di uji oleh berbagai gelombang peristiwa intoleransi, teror, saling mencurigai dan saling mempenjarai satu sama lainya. Kehancuran ini, kata Heidegger di dalam Discourse on Thingking menyebutkan manusia yang tidak mampu lagi menggunakan akal sehat, sebagai manusia yang terjerat dalam ketidak berpikiran. Ia tidak bermaksut mengatakan bahwa manusia tidak berpikir sama sekali seperti hewan, namum katanya manusia lebih berpikir secara keuntungan, kerugian dan laba yang akan di hasilkan ketika melakukan suatu tindakan. Dipihak lain cara berpikir manusia cendrung berbuat persaingan, penguasaan, penyerangan, perebutan, bahkan penghancuran. Tanpa mampu lagi berpikir ke arah pencarian makna yang sejatinya—beginilah paradigma kita saat ini.
Wajah mendung yang telah menyelimuti pikiran dan kehidupan kita, ketika episode kehidupan politik saat ini membentuk kegelisahan, putus asa dan masa bodoh—tampaknya kita harus bangkit sekali lagi untuk menyemai harapan dan percaya lagi pada manusia dan pada masa depan yang penuh dengan ikatan cinta, persahabatan, kasih sayang saling pengertian dan saling menghormati. Dengan demikian “konsolidasi demokrasi” yang lebih beradab dan lebih bermoral adalah salah satu jalan untuk menyemai kembali makna demokrasi yang sesungguhnya agar tercapainya tujuan kita berbangsa dan bernegara, yaitu hidup dalam kerukunan, persatuan dan saling mencitai satu sama lainnya.