Kala roda kepemimpinan terus berputar, tak ada jaminan yang lebih baik selain perkaderan.
Jika tidak demikian, maka pemimpin yang lahir bukan atas dasar kesadaran. Melainkan hanya terdesak oleh keadaan. Lebih dari itu, perkaderan yang kurang mapan akan mendekatkan pimpinan pada disorientasi kepemipinan.
Beberapa hari yang lalu saya menemukan tulisan dari saudara Rahmat Rusma Pratama, Ketua Umum Komisariat Shabran periode 2019 mengenai perkaderan.
Lebih tepatnya tulisan itu dapat kita sebut sebagai gugatan. Secara garis besar, gugatan tersebut mempersoalkan mengenai kebijakan pada perkaderan di tingkat pimpinan daerah.
Terlepas dari apapun yang menjadi alasan bagi pihak yang digugat pada tulisan tersebut, bahwa pada dasarnya kepemimpinan dan perkaderan merupakan dua hal yang saling bertaut erat.
Secara sederhana pemimpin yang baik akan menjadi pimpinan yang bijaksana serta menjalankan kepemimpinan dengan bijak.
Kaderisasi ialah proses yang menjadi kebutuhan untuk mencetak pemimpin-pemimpin yang pada gilirannya mampu membawa persyarikatan, ummat, dan bangsa menuju cita-cita yang diimpikan dan tidak lepas pada landasan etis dari ideologi sebagai nilai dasar dalam bentuk pola pikir, sikap, dan tingkah laku.
Sebaliknya, pimpinan memiliki peran besar dalam menentukan arah gerak dengan merumuskan dan menjalankan kebijakan dalam hal ini kebijakan mengenai perkaderan.
Dengan demikian, dapat saya katakan bahwa kaderisasi merupakan jaminan bagi para pemegang tampuk kepemimpinan di masa-masa yang akan datang.
Oleh karena itu dalam tulisan kali ini saya akan memaparkan titik temu antara perkaderan dan kepemimpinan sebagai tafsir atas gugatan bung Rahmat melalui tiga sudut pandang para pemegang stakeholder serta perannya pada perkaderan, yaitu; instruktur, bidang kader, dan bidang-bidang selain bidang kader.
Instruktur, Bidang Kader, dan Kaderisasi
Sebelum menyelam kedalam pembahasan mengenai instruktur, mari kita dudukkan terlebih dahulu tentang apa yang kita sebut sebagai kader dan kaderisasi.
Sejatinya, kata kader merupakan serapan dari Cadre dalam istilah inggris yang memiliki arti bakal calon dari anggota perkumpulan guna menduduki posisi penting.
Dalam konteks organisasi ialah orang-orang yang dibina dan di kemudian hari akan melanjutkan laju gerak organisasi di berbagai posisi menuju cita-cita organisasi tersebut.
Proses dalam melahirkan kader yang militant itu disebut sebagai kaderisasi.
Merujuk pada buku Tak Sekadar Merah, dalam tulisan Ahmad Janan Febrianto; “Instruktur merupakan output dari perkaderan ikatan secara khusus (LID,LIM,dan LIP) yang bertugas mengelola perkaderan formal di masing level.”
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa instruktur memiliki peran inti dalam perkaderan formal seperti DAD, DAM, dan DAP.
Tugasnya ialah menjaga agar kemudian orientasi perkaderan yang didukung oleh serangkaian system dan materi didalamnya agar tetap berpegang pada nilai dasar ikatan dan persyarikatan.
Selain dari pada itu, adanya instruktur beserta SPI dan SOP-nya menunjukkan perkaderan yang tersentral.
Hal ini bukan bertujuan untuk menyamakan setiap individu kader dengan individu lainnya sehingga keragaman tidak lagi ditemukan baik pada pikiran, perasaan, sampai tindak-tanduknya yang sering kali kita sebut ini sebagai patronasi.
Melainkan hal tersebut ditujukan semata-mata menjaga agar kader dan perkaderan tetap ‘stay on the track’ dalam kerangka genealogi pemikiran yang kemudian melahirkan pola pandang serta Analisa yang sama bagi kader.
Karenanya, jika kita menelusuri Kembali pada pola kepemimpinan Muhammadiyah, selalu memiliki varian-varian yang berbeda namun tetap dalam tujuan yang sama serta pola pandang yang sama yakni amar-makruf dan nahi-munkar berlandas pada semangat profetik yang tetap berpegang pada nilai-nilai ideologi muhammadiyah.
Bersama pimpinan di masing-masing level, instruktur dan bidang kader secara dialogis dan komunikatif merumuskan serta menjalankan berbagai kebijakan pada ranah perkaderan baik itu perkaderan formal maupun non-formal di setiap jenjang perkaderan serta tingkat pimpinan.
Mengenai bidang yang memiliki tupoksi dan peran vital dalam perkaderan, bidang kader merupakan bidang yang prioritas uraian kebijakannya ialah pada ranah perkaderan baik pada tahap analisis, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi.
Dengan dibersamai oleh bidang lainnya menyelenggarakan berbagai program serta kegiatan dalam rangka suksesi kepemimpinan, pada akhirnya mampu melahirkan pemimpin-pemimpin baru.
Baca Juga: Generasi Z IMM: Generasi Potensial Ikatan
Pimpinan dan Kepemimpinan
Sebagaimana terkadung dan terkandung dalam SPI bahwa segala proses individuasi (kaderisasi) bertujuan melahirkan Gerakan kolektif dan segala bentuk Gerakan kolektif ialah upaya individuasi.
Dengan kata lain, yang membedakan antara IMM dan organisasi biasa adalah perkaderan.
Tujuannya bukan pada suksesi kepengurusan saja, tetapi bagaimana di kemudian hari para kader siap memimpin dan siap dipimpin.
Seperti apa yang dikemukakan oleh Makhrus Ahmadi dkk.
dalam buku “Genealogi Kaum Merah” orientasi pada suksesi kepengurusan memberi kesan bahwa kepemimpinan hanya sebatas event organizer yang hanya bertujuan pada susksesnya program kerja, tidak menjadi persoalan selama ia dilaksanakan secara fair. Tidak berat sebelah dan mengabaikan yang lain.
Kerumitan berbagai permasalahan baik pada skala komisariat, regional, nasional, bahkan global membutuhkan suatu Gerakan yang terorganisir dengan baik. Akan tetapi kepemimpinan tidak sebatas itu, namun mempersiapkan pemimpin. Oleh karena itu, pimpinan tak hanya memiliki peran dalam Gerakan (aksi) namun juga perkaderan.
Pimpinan dalam hal ini memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga serta mengembangkan gen pemikiran. Beberapa alasan diantaranya adalah; disparitas pemikiran dan pemahaman antar kader, jembatan memudahkan dalam proses perkaderan, dan pengukuhan Kembali identitas Gerakan IMM.
Maka dari itu perkaderan baik formal dan non-formal, umum dan khusus, serta utama dan pendukung ialah tanggung jawab pimpinan. Creative minority menjadi pintu keluar dari permasalahan disorientasi kepemimpinan. Tujuannya sebagai pendukung perkaderan utama, guna menjadi Lembaga semi otonom. Inisiator dari Creative Minority ialah bidang-bidang yang memiliki konsentrasi berbagai diskursus.
Dengan demikian paradigma kaderisasi baik dalam pandangan filsosfis sampai praksis tidak hanya dipahami dan diamalkan oleh bidang kader saja.
Namun semua pimpinan turut terlibat dalam pembentukan kader. Sehingga pimpinan menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan baik.
Ikhtitam
Kembali kepada gugatan bung Rahmat yang mengatakan, “kalau berani saya ingin mengatakan, jangankan pandemi kalaupun hari esok itu kiamat maka perkaderan tidak boleh berhenti apalagi ditiadakan.
” Dengan itu saya juga berani mengatakan “kepemimpinan tanpa perkaderan hanya akan melahirkan para pengurus, bukan pemimpin.”
Ibarat menggunting dalam lipatan, terhentinya perkaderan di berbagai level pimpinan akan merusak jalannya roda kepemiminan.
Dan cita-cita persyarikatan hanya sebatas dongeng yang disenandungkan di setiap sambutan-sambutan pembukaan agenda pimpinan.
Pada akhirnya disorientasi kepemimpinan dalam ikatan akan terus tumbuh lestari berkembang biak dan identitas Gerakan kian lama akan tergerus oleh keadaan.
Mari kita lihat fenomena hari ini, mungkin bisa katakan bahwa hari ini kita akan menghadapi “kader tanpa sekre”. Dan jangan sampai tertular kepada para pimpinan yang penyakit itu kemudian menjadi “Kepemimpinan tanpa kaderisasi”
Sekalipun hubungan antara instruktur, bidang kader, dan pimpinan terhadap para kader ialah hubungan antar subjek. Tuntutan kemandirian untuk berjalan dan belajar sendiri menjadi sebuah keharusan para kader.
Namun apa jadinya Ketika genealogi pemikiran tidak tersemat dalam pola pikir, sikap, dan tingkah laku serta jalannya kepimpinan “out of the track” lantaran perkaderan hanya berjalan secara sporadic yang dibantu oleh para senior yang belum tentu sesuai dengan SPI dan SOP perkaderan ikatan bahkan bisa jadi tidak memahaminya secara kaffah.
Oleh: Hizba Muhammad Abror (Ketua Umum PK IMM FAI UMY 2020-2021.)