Oleh: Muhammad Fachrul Hudallah (Pengurus Bidang Penelitian dan Pengembangan Hukum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia)
Zonaintelektual.com-Permasalahan perbedaan harga antara di rak dan kasir menjadi keresahan konsumen ketika berbelanja produk (tangible goods) secara eceran. Perselisihan harga yang biasanya didapatkan sekitar Rp 200 hingga Rp 2000. Masyarakat yang membeli barang tersebut akan mengalami keberatan dan kekecewaan karena tidak ada transparansi, serta informasi yang jelas dan jujur.
Walaupun mayoritas pelaku usaha beralasan bahwa kejadian itu tidak disengaja karena masih belum diperbaharui, tentu konsumen akan merasakan dampaknya pula. Ini biasanya terjadi ketika memindai kode batang pada produk.
Kerugian yang dialami oleh konsumen merupakan akibat dari perilaku pelaku usaha yang harus bertanggung jawab berdasarkan prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault principle) karena merupakan perbuatan yang menyebabkan kerugian dan berdasarkan penyebab nyata (proximate cause) dari kerugian yang ada.Walaupun terlihat kecil nilai uangnya, bila dikalikan akan menjadi berkali-kali lipat keuntungan pelaku usaha.
Ketentuan yang mengungkapkan secara jelas bahwa konsumen memiliki hak untuk informasi yang jelas, benar, dan jujur mengenai produk telah termaktub dalam pasal 4 ayat (3) UU No. 8 tahun 1999. Mengenai kejelasan informasi produk, didukung oleh regulasi pasal 2 ayat (1) Permendag No. 35 tahun 2013 dimana pelaku usaha yang memperdagangkan barang secara eceran wajib mencantumkan harga produk dengan jelas, mudah dibaca, dan dilihat oleh konsumen.
Ketentuan ini menjadi tidak wajib diterapkan bagi pedagang mikro sesuai pasal 2 ayat (3) Permendag No. 35 tahun 2013. Harga barang yang diperdagangkan harus tertera secara jelas dan benar, kemudian ketentuan mengenai sudah termasuk pajak atau belum merupakan hal yang urgensial pula untuk dicantumkan sesuai ketentual pasal 3 ayat (2) Permendag No. 35 tahun 2013. Sebagai pelaku usaha, mereka dilarang untuk menjual atau menawarkan produk yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harganya sesuai ketentuan pasal 10 huruf a UU No. 8 tahun 1999 karena akan berdampak pada kerugian konsumen dari segi materil dan immateril. Bila menyesatkan harga produk, pelaku usaha dapat diancam dengan penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak dua miliar sesuai dengan pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen.
Bila konsumen menemukan perselisihan antara harga waktu di rak dan di kasir, sesuai dengan pasal 7 ayat (2) Permendag No. 35 tahun 2013 yang mengungkapkan harga saat pembayaran bila terjadi perselisihan adalah tarif terendah.
Namun apabila pelaku usaha tidak mau untuk memberikan tarif terendah bagi konsumen dan mereka memberikan selisih harga yang cukup signifikan lebih mahal, masyarakat dapat menggugatnya ke BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) setempat yang memiliki nomor STD-BPSK.
Di tambah lagi bila mereka ingin melaporkan, dapat melalui BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional RI) melalui laman https://bpkn.go.id. Namun bila membutuhkan pendamping untuk advokasi, konsumen dapat meminta LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) yang ada di beberapa kota di Indonesia.
Oleh sebab itu, perbuatan dolus atau culpa yang mengakibatkan perselisihan harga produk antara di rak dan kasir tetap merugikan konsumen sehingga pelaku usaha harus bertanggung jawab.
Ini menjadi hal yang penting untuk beberapa elemen, yakni dinas perdagangan dan perindustrian agar fokus terhadap isu perlindungan konsumen, masyarakat harus lebih berhati-hati dan meningkatkan literasi mengenai perlindungan konsumen, serta pelaku usaha yang seharusnya memiliki iktikad baik dan memberikan informasi yang transparan kepada konsumen agar kenyamanan, keamanan, dan keadilan dapat didapatkan ketika bertransaksi.