Ojek online merupakan aplikasi yang ada di Indonesia untuk mengantarkan orang ke suatu tempat, mengantarkan makanan, ataupun paket.
Tidak mengherankan apabila banyak pelanggan yang mengeluh karena uang kembalian tidak diterima dengan alasan tidak ada uang kecil, tidak ada persiapan kembalian, baru mulai narik, atau alasan lainnya.
Sementara itu, mayoritas konsumen yang mendengarnya akan cenderung tidak mempermasalahkan walaupun di hatinya mengalami kekecewaan.
Walaupun biasanya uang yang cenderung kecil; seperti lima ratus rupiah, seribu, dua ribu, atau bahkan lebih; namun bila dikalikan akan menjadi keuntungan yang besar bagi supir ojek online.
Mungkin bagi mereka ini adalah kerugian konsumen berbalut intensif.
Menurut UU No. 8 tahun 1999 pasal 5 huruf C, konsumen memiliki kewajiban untuk membayar dengan nilai tukar yang disepakati.
Melihat itu, konsumen memang seharusnya menerima hak yang sudah menjadi kembaliannya. Sesuai dengan pasal 4 huruf g yang juga menyatakan bahwa konsumen memiliki hak untuk diperlakukan secara benar dan jujur.
Supir ojek online tidak diperkenankan untuk berlaku seenaknya, termasuk tidak memberikan uang kembalian kepada konsumen. Sesuai pasal 7 huruf a UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwasanya pelaku usaha, dalam konteks ini adalah pengemudi ojek online, memiliki kewajiban untuk beriktikad baik dalam menjalankan usahanya.
Tentu hal ini perlu diperhatikan oleh pelaku usaha. Bayangkan bila posisinya dibalik, konsumen membayarnya dengan uang yang kurang, pastinya pengemudi ojek online akan menuntut uang kekurangan agar segera dipenuhi.
Maka dari itu, untuk menjaga ketertiban, kenyamanan, dan keadilan, supir ojek online diharapkan mampu untuk memenuhi tanggung jawabnya serta konsumen harus selalu menuntut kembalian apabila pelaku usaha lalai atau dengan alasan apapun.
Oleh: Muhammad Fachrul Hudallah (Anggota Bidang Penelitian dan Pengembangan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia)