Dari pulau itu, dia telah pulang, dia yang telah lama hilang, Lima belas tahun lamanya. Di Waitimal Kasim mencetak harapan,
Di Kota kita mencetak keluhan, (aku jadi ingat diplonco Dua pulih dua tahun yang lalu ).
Dan kemarin di tepi kali celiwung aku berkaca kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi, kuludahi banyanganku ketika aku mengingatmu Sim.
Kutipan puisi ini ditulis oleh Penyair Indonesia Terkemuka yang juga teman kuliah Muhammad Kasim Arifin si Aktivis sandal Jepit.
Pesona kesederhanaan Kasim Arifin ini berhasil mengoyak-ngoyak nurani Taufik Ismail.
Kasim pernah menghilang 15 tahun karena perasaannya yang melarut pada masyarakat Waitimal, Pulau Seram, Maluku.
Pada 1964, dia merupakan mahasiswa Fakultas Pertanian, IPB. Saat itu program KKN pun dijalaninya bersama mahasiswa IPB lainnya di Waitimal.
Saat ber KKN disana ia tampaknya sangat mendalami tugas pengabdiannya di Waitimal.
Dia terlibat jauh dalam pengambdiannya dengan mengajarkan petani setempat bagaimana untuk meningkatkan hasil tanaman dan ternak mereka.
Saat program KKN berakhir Kasim memilih untuk tinggal dan meneruskan pengabdiannya.
Kasim juga memabantu masyarakat desa disana dengan membuka jalan desa,mebangun sawah, membuat irigasi dan itu lakukannya tanpa pamrih tanpa bantuan dari pemerintah.
Sempat disapa sebagai Antua oleh warga setempat, Antua merupakan sebuah gelar yang dihormati di Maluku.