Tahun 1964 merupakan awal di mana kaum intelektual muda Muhammadiyah berkumpul secara resmi dalam satu wadah, yakni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Banyak hal yang mendasari terbentuknya wadah intelektual ini. Berdirinya IMM terdiri dari dua faktor yaitu: faktor internal Muhammadiyah itu sendiri, yang menginginkan adanya suatu wadah yang khusus bagi kalangan mahasiswanya.
Kemudian faktor eksternal pendirian IMM ini juga tidak terlepas dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara dari berbagai ancaman yang dapat mengganggu bukan hanya warga persyarikatan, tetapi juga rakyat Indonesia. IMM hadir di kalangan mahasiswa sebagai gerakan mahasiswa Islam dengan tiga kompetensi dasar, religiusitas, intelektualitas, dan humanitas.
IMM sebagai gerakan intelektual
Sebagai salah satu gerakan intelektual, IMM sepatutnya memberikan sebuah tindakan nyata (action) dalam roda kehidupan organisasi. Jika hanya sebatas untaian kata, anak kecil pun bisa mengungkapkannya. Sebab, tindakan merupakan langkah akhir untuk pengaktualisasian tri kompetensi dasar tersebut.
Dengan begitu, IMM akan mampu menciptakan sebuah produk intelektualnya sendiri sebagai organisasi kader yang bergerak di bidang keagamaan, kemahasiswaan dan kemasyarakatan dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Sehingga claim “anak kandung yang manja” yang mengarah kepada kader IMM tersebut dapat dipatahkan dengan aksi dan tindakan yang nyata.
Dalam buku “Muhammadiyah Peran Kader dan Pembinaannya” yang ditulis oleh Djazman al-Kindi yang juga salah satu tokoh pendiri IMM, memetakan titik fokus atau gerakan organisasi otonom Muhammadiyah. Salah satunya IMM yang mendapat mandat untuk fokus pada pengembangan potensi intelektual.
Upaya Pengembangan Intelektual IMM
Untuk pengembangan potensi intelektual ini memang tidak selamanya mudah. Kader IMM itu semuanya tidaklah sama. Ada kader yang suka membaca, ada juga yang suka berwirausaha, namun kader yang suka kuliah-pulang kuliah-pulang susah atau bahkan sedikit. Ini merupakan bentuk pengabdian kader IMM dengan bertumpu pada QS. An-Nisa’ : 9; yang artinya:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Ayat ini memberikan suplemen tersendiri bagi kader IMM untuk terus dan selalu memperhatikan generasi-generasi penerus bukan hanya untuk ikatan dan persyarikatan, tetapi bagi nusa dan bangsa. Selama kader IMM melakukan amal sholeh, dan selama itu pula kegiatan itu dilakukan dengan lillahita’ala yang senantiasa diabadikan untuk kepentingan rakyat.
Pada praktiknya kader IMM harus tetap berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-Sunah yang telah terlebih dahulu dipraktikan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Dengan melekatnya dua pondasi ini dalam diri kader, penegasan gerakan mahasiswa Islam tersebut senantiasa masih dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini tentu sulit untuk dilakukan jika tidak adanya kemauan. Dengan tantangan zaman yang kian rumit, perkembangan teknologi yang pesat, banyaknya isu-isu yang membahas tentang agama, khususnya Islam. Di balik itu semua, penulis optimis bahwa kader IMM mampu bertahan melewati itu semua tanpa mengurangi kekhusyukan dalam melaksanakan perintah agama.
Pembentukan Keintelektualan Kader IMM
Sebagai gerakan intelektual, setidaknya kader IMM membiasakan diri dengan tiga hal berikut. Pertama, meningkatkan budaya membaca. Sebagai seorang mahasiswa, budaya membaca telah mendarah daging di lingkungan kampus. Kader IMM dituntut bukan hanya membaca buku yang dipelajari di kampus, buku-buku yang turut memberikan ghirah dalam diri kader dalam berikatan juga penting untuk dibaca.
Kedua, memperbanyak tulisan. Menulis di sini bukan berarti membuat sebuah tulisan lalu dipublikasikan. Menulis dalam konteks ini ialah tindak lanjut dari kegiatan membaca di atas. Di zaman dulu, orang-orang yang ingin mempertahankan daya ingatnya ialah melalui tulisan. Kegiatan ini diyakini mampu untuk mempertajam dan memperkuat daya ingat seseorang.
Setelah buku dibaca, untuk melatih pikiran kader dituangkan melalui tulisan. Singkatnya, apa yang dipahami itulah yang ditulis untuk mempertajam daya ingat. Dengan melakukan hal ini, persentase dalam memahami buku tersebut lebih tinggi dibanding dengan hanya membaca saja.
Ketiga, berdiskusi. Buku yang dibaca tersebut yang kemudian dituangkan dalam tulisan sesuai dengan pemahaman harus didiskusikan bersama. Dengan diskusi-diskusi ringan seperti ini akan semakin mempertajam dan meningkatkan kualitas kader IMM sebagai Intelektual Muda Muhammadiyah. Akhirnya, ilmu dan pengetahuan dari sumber bacaan tersebut lebih utuh dicerna oleh pikiran.
Keempat, aksi. Sumber-sumber yang telah diolah dengan membaca, menulis, dan mendiskusikannya, kemudian ditindak lanjuti dengan aksi yang nyata dengan menindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara. Karena telah ditegaskan dalam diri kader bahwa ilmu yang dipelajari harus diamalkan, serta amalan yang diperbuat hendaknya didasari dengan ilmu.
Empat hal di atas merupakan bagian dari proses dasar dalam pembentukan keintelektualan kader IMM. Dengan melemahnya bahkan hilangnya kesadaran untuk membaca, menulis dan berdiskusi di lingkungan IMM, maka dapat dipastikan bahwa IMM memanglah “anak yang manja”.
Baca juga: Generasai Z IMM: Generasi Potensial Ikatan
IMM, Intelektualnya Muhammadiyah
Jadi, IMM sebagaimana pada judul artikel ini bukanlah singkatan dari Intelektual Muda Muhammadiyah. IMM tetaplah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, organisasi otonom Muhammadiyah yang berdiri pada tanggal 14 Maret 1964. Hadir di tengah-tengah mahasiswa yang mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.
IMM juga sebagai organisasi kader yang bergerak di tiga bidang, keagamaan, kemasyarakatan, dan kemahasiswaan. Oleh karena itu, kader IMM harus mampu hadir di tengah masyarakat khususnya di kalangan mahasiswa sebagai intelektual muda Muhammadiyah, yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar.
Hingga pada akhirnya, loyalitas dan integritas kader IMM dalam berikatan terbentuk pada sebuah pondasi yang kokoh untuk tetap berjuang sebagai pewaris tampuk pimpinan umat dan terus memberikan manfaat. IMM sebagai intelektual muda Muhammadiyah bukan hanya sebatas harapan, namun dapat dibuktikan secara konkret.
Oleh: Mukhaimin Syahputra Dalimunthe (Ketua Bidang RPK PK IMM UIN-SU)