Menu

Mode Gelap
Kasus Pembakaran Rumah Sempurna Pasaribu di Tanah Karo: Polda Sumut Tambah Tersangka Baru Polri Gunakan Teknologi Canggih untuk Seleksi Akpol 2024 Terungkap! Identitas dan Peran 2 Eksekutor dalam Pembakaran Rumah Sempurna Pasaribu Rektor UM Tapsel Kukuhkan 146 Guru Profesional, Kepala LLDIKTI Wilayah I: Jangan Berbisnis Apapun Di Sekolah Kejahatan Siber Merebak: Pembelajaran Preventif Masyarakat Kunjungan Mahasiswa MBS UIN Syahada Sidimpuan ke UMKM: Memahami Proses Bisnis dan Pemasaran Digital

News

Berempati Tanpa Mengeksploitasi: Bahaya Penyebaran Foto Anak Korban Pencabulan Tanpa Sensor

badge-check


					Berempati Tanpa Mengeksploitasi: Bahaya Penyebaran Foto Anak Korban Pencabulan Tanpa Sensor Perbesar

Oleh : Cahyati Daulay

Zonaintelektual.Com-Fenomena mengunggah foto anak yang menjadi korban pelecehan seksual seperti pelecehan verbal, fisik, maupun secara daring tanpa sensor di media sosial adalah tindakan yang sangat tidak etis dan merugikan, baik bagi korban maupun masyarakat. Tindakan tersebut jelas melanggar hak-hak korban, terutama hak anak korban pelecehan seksual yang seharusnya menjadi privasi dan mendapat perlindungan. Mengunggah foto korban tanpa sensor sebenarnya bukan hanya sekedar pelanggaran privasi, tetapi juga bisa dikategorikan sebagai tindakan reviktimisasi, di mana korban yang sudah mengalami trauma akibat pelecehan kembali dipermalukan dan terekspos secara publik.

Di Indonesia, peraturan yang melindungi anak, seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, secara tegas mengatur setiap anak, yang menjadi korban pelecehan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Sayangnya, masih ada sebagian masyarakat yang kurang memahami atau tidak peduli terhadap aturan ini, sehingga mereka seringkali menyebarkan foto korban di media sosial tanpa berpikir panjang. Motif yang mendorong tindakan ini bisa beragam, mulai dari niat simpati yang salah arah, pencarian perhatian, hingga keinginan untuk “memviralkan” suatu isu agar segera mendapatkan keadilan tanpa memahami dampak jangka panjangnya bagi korban.

Dampak dari tindakan ini sangat serius. Bagi korban, terutama anak-anak, publikasi foto tanpa sensor dapat menimbulkan trauma tambahan, rasa malu, dan gangguan psikologis. Mereka juga dapat menjadi sasaran stigma sosial di lingkungan sekitar mereka, yang justru semakin memperburuk keadaan mereka. Selain itu, tindakan ini juga merusak upaya aparat penegak hukum dan lembaga pendampingan dalam melindungi korban dan memastikan mereka pulih dari pengalaman traumatis.

Tindakan penyebaran foto anak korban pencabulan bukan sekedar melanggar undang-undang tetapi juga melanggar norma yang ada di masyarakat. Tindakan ini juga berdampak terhadap pemulihan psikis korban. Sebagai masyarakat, kita perlu lebih sadar akan pentingnya menjaga privasi dan martabat korban pelecehan, terlebih anak-anak. menjaga privasi korban adalah bentuk empati dan tanggung jawab sosial.

Dampak Negatif Penyebaran Poto Anak Korban Pencabulan
Menyebarkan foto anak korban pencabulan tanpa sensor bukan hanya tindakan yang melanggar hak privasi, tetapi juga berdampak negatif yang sangat mendalam pada kondisi psikologis korban. Saat identitas korban terekspos, mulai dari nama lengkap, alamat lengkap, bahkan foto korban yang viral dan menjadi konsumsi publik, dimasa yang akan datang nanti mereka menjadi korban yang rentan mengalami trauma berulang yang membuat pemulihan luka melambat atau bahkan sudah membaik namun, viralnya foto dirinya dapat membuka luka lama muncul kembali. Alih-alih membantu, tindakan ini malah menimbulkan rasa malu dan stres bagi korban, yang seringkali merasa tidak aman dan terus-menerus diingatkan pada kejadian kelam tersebut.

Tak hanya itu, korban juga rentan terhadap stigma sosial. Di lingkungan sekitar, mereka bisa menjadi sasaran penilaian negatif atau kasihan berlebihan, yang justru semakin memperburuk kondisi mental mereka. Akibatnya, proses pemulihan yang seharusnya cepat menjadi berlarut-larut, karena korban merasa terasing dan berbeda di tengah masyarakatnya sendiri.

Yang lebih mengkhawatirkan, tindakan ini memicu reviktimisasi atau trauma berulang. Korban kembali mengalami penderitaan akibat foto-foto mereka tersebar tanpa perlindungan. Bahkan lebig fatal dapat membuat anak korban pencabulan tersebut tidak mau pergi sekolah dan tidak melanjutkan cita-citanya. Inilah mengapa penting bagi kita semua untuk memahami bahwa empati bukan tentang mengekspos penderitaan korban, melainkan melindungi dan mendukung mereka tanpa memperburuk trauma yang sudah ada.

Peran Masyarakat Dalam Memberikan Empati Terhadap Anak Korban Pencabulan Masyarakat memiliki peran penting dalam memberikan empati dan dukungan bagi anak korban pencabulan, namun bentuk empati tersebut harus diberikan dengan bijak. Saat terjadi kasus kekerasan terhadap anak, masyarakat seringkali bergegas untuk menunjukkan kepedulian, tetapi sayangnya, kepedulian ini sering disalurkan dengan cara yang kurang tepat, seperti menyebarkan foto atau identitas korban di media sosial. Niat baik untuk membangun kesadaran atau menggalang dukungan malah bisa berubah menjadi tindakan yang memperburuk trauma korban.
Empati terhadap anak korban pencabulan tidak memerlukan eksposur berlebihan atau penyebaran informasi pribadi mereka. Sebaliknya, empati sejati adalah melindungi privasi dan mendukung korban tanpa menambah beban psikologis yang mereka alami.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia, identitas anak korban harus dijaga kerahasiaannya untuk melindungi kesejahteraan mental dan proses pemulihan mereka. Oleh karena itu, peran masyarakat bukan hanya menunjukkan kepedulian, tetapi juga menghormati hak-hak korban serta memahami dampak dari tindakan yang tidak bertanggung jawab.

Lebih bijak bagi masyarakat untuk menunjukkan empati melalui cara-cara yang mendukung dan menjaga keamanan korban. Misalnya, dengan mendorong edukasi tentang perlindungan anak, berbagi informasi tanpa mengungkap identitas korban, atau mendukung keluarga korban secara emosional. Empati bukan tentang “memviralkan” penderitaan, melainkan memberikan ruang yang aman dan mendukung untuk anak-anak yang telah menjadi korban kejahatan.
Empati seharusnya diwujudkan dengan mendukung korban tanpa mengeksploitasi mereka. Kita bisa membantu dengan meningkatkan kesadaran masyarakat melalui edukasi, menginformasikan bahaya pencabulan, dan mendorong perlindungan anak tanpa memaparkan identitas mereka. Sebagai masyarakat yang peduli, kita harus menahan diri dari tindakan impulsif yang justru memperparah penderitaan korban. Mari kita belajar berempati dengan bijak, memberikan ruang aman bagi anak-anak yang menjadi korban kejahatan, dan menghormati hak mereka untuk tumbuh tanpa trauma tambahan.

Baca Lainnya

Sigap dan Peduli, Pramuka Sidimpuan Bantu Warga Bersihkan Dampak Banjir

16 Maret 2025 - 01:44 WIB

Kehilangan Dokumen Penting Saat Banjir Bandang di Padangsidimpuan, Begini Solusinya

15 Maret 2025 - 22:16 WIB

PDI Perjuangan Padangsidimpuan Bagikan Takjil dan Nasi Kotak kepada Korban Terdampak Banjir

15 Maret 2025 - 20:34 WIB

Pulang dari Medan, Wali Kota Padangsidimpuan Langsung Temui Korban Terdampak Banjir dan Longsor

15 Maret 2025 - 20:25 WIB

Dua Warga Sihitang Hilang, Sepeda Motor Korban Ditimbun Longsor

15 Maret 2025 - 17:47 WIB

Trending di News