Konstitusi Dan Perempuan

News, Opini129 Dilihat

Oleh: Cahyati Daulay

PADANGSIDIMPUAN-Tepat pada hari ini 18 agustus tahun 2023 untuk sekian kalinya kita memperingati hari ini sebagai “Hari Konstitusi”. UUD tahun 1945 sebagai konstitusi negara yang disahkan pada 18 agustus tahun 1945, 78 tahun usia kosntitusi kita saat ini. Peringatan hari ini adalah sebagai bentuk refleksi atau pandangan terkait sudah sejauh mana kosntitusi dijunjung tinggi dan di implementasikan sebagai hukum tertinggi dan pedoman dari segala pembentukan hukum dan dasar dalam menjalankan hidup bernegara.

Pasal 1 ayat 1 UUD menyatakan bahwa indonesia adalah negera hukum. Yang mana bahwa setiap tindakan warga negaranya ada hukum yang membatasi segala tindakannya dan ada sanksi dari setiap perbuatan yang dilakukan. Hak asasi sudah mutlak diatur dalam kosntitusi. Termasuk didalamnya sudah diatur tentang hak asasi perempuan. Hak asasi perempuan adalah suatu hal yang urgen karena butuh perhatian khusus dan perlindungan khusus bagi kaum perempuan.

Konstitusi Indonesia, Pasal 27 dan 28 I ayat (2) memuat dan menegaskan prinsip bebas dari diskriminasi. Prinsip Non Diskriminasi, bersama dengan kesetaraan di depan hukum dan perlindungan yang sama tanpa adanya diskriminasi merupakan prinsip dasar dan umum sehubungan dengan perlindungan hak asasi manusia.

Banyaknya persoalan kaum perempuan seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, diskriminasi di berbagai bidang kehidupan, kemiskinan, dibatasinya untuk berekspresi diruang publik serta adanya batas ambang jumlah partisipasi perempuan dalam dunia politik.

Perempuan, sebagai bagian dari masyarakat dalam suatu negara, merupakan kelompok yang juga wajib mendapatkan jaminan atas hak-hak asasinya. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 tidak secara tersurat menyatakan tentang jaminan hak asasi terhadap kelompok perempuan secara khusus, namun dalam Pasal 2 Deklarasi tersebut menyatakan bahwa hak dan kebebasan perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk tidak melakukan berdasarkan jenis kelamin.

Sebagai momentum peringatan “Hari Konstitusi” sudah seharusnya bahwa UU terkait perempuan itu di revisi kembali dalam artian masih ada beberapa UU terkait perempuan yang belum spesifik dijelaskan redaksinya baik itu redaksi muatan pengertian UU nya, muatan sanksinya serta ketidakjelasan original intens dari UU nya. Bahkan yang paling tragis adalah adanya UU tentang perempuan namun malah merugikan atau menjerusmuskan perempuan. Hal-hal tersebut terjadi karena minimnya gagasan perempuan dalam pembentukan UU tentang perempuan.

Derasnya arus gelombang desakan dari berbagai elemen kaum perempuan agar segera diciptakannya UU khusus tentang perempuan, dikarenakan banyaknya kasus tentang kekerasan terhadap perempuan namun belum ada UU sebagai pedoman untuk menyelesaikan kasusnya.

Kapasitas UU yang terbatas tak jarang membuat proses penyelesaian kasusnya menjadi lambat dikarenakan masih harus membuat hukum yang mana tentu ini dititik beratkan sulitnya pembuktian tanpa adanya UU yang mendasarinya. Setalah adanya UU TPKS namun tentu masih ada pro kontra di dalamnya.

Misalnya dalam pasal 5 UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang isinya :
Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)

Yang mana dalam pasal ini tidak dijelaskan bagaimana yang dikatakan dengan kekerasan nonfisik seterusnya namun pasal ini dapat ditelaah dari beberapa unsur seperti unsur subjek hukum setiap orang yang terdiri dari orang perseorangan atau korporasi. Orang perseorangan artinya bisa saja laki-laki ataupun perempuan sehingga tidak ada pengkhususan pada gender tertentu.

Pelecehan nonfisik yang dilakukan korporasi misalnya mengunggah foto seseorang pada akun media sosial korporasi dengan ditambahkan kalimat sensual tertentu dengan maksud merendahkan harkat dan martabat orang tersebut.

Unsur berikutnya adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.

Misalnya kedipan mata, gerakan atau isyarat atau bahasa tubuh yang memperlihatkan atau menyentuh atau mempermainkan alat kelamin, ucapan atau komentar yang bernuansa sensual atau ajakan atau yang mengarah pada ajakan melakukan hubungan seksual, mempertunjukkan materi-materi pornografi, memfoto secara diam-diam dan atau mengintip seseorang.
Unsur berikutnya adalah perbuatan tersebut ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi.

Keinginan seksual/hasrat seksual adalah kondisi terkait motivasi dan minat pada objek atau aktivitas seksual, atau sebagai keinginan, atau dorongan untuk mencari objek seksual atau untuk terlibat dalam suatu aktivitas seksual. Tentu ketidaklengkapan pengertian kekerasan nonfisik ini dapat mengakibatkan kesalahan dalam proses pembuktian kebenaran fakta-fakta yang terdapat di dalam kasus kekerasan seksual itu.

UU TPKS hanyalah salah satu dari UU tentang perempuan yang mana subtansi muatan penting dari UU tersebut tidak dijelaskan secara detail. Namun dapat diberikan apresiasi akhirnya UU tentang perempuan yang secara umum diatur dalam KUHP kini sudah ada UU khusus untuk masalah kekerasan terhadap perempuan.

Setelah hadirnya UU khusus tentang perempuan nyatanya masih berat dalam pengaplikasian penegakan supremasi hukumnya, terlihat banyaknya kasus yang terkesan lambat untuk direspon sehingga menimbulkan ketidakyakinan masyarakat terhadap kosntitusi itu sendiri. Lalu bagaimana sebenarnya konstitusi itu, konstitusi yang benar baik itu secara subtansi isinya maka seharusnya mampu menekan angka jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *