Oleh : Cahyati Daulay
PADANGSIDIMPUAN-kemerdekaan berkaitan erat dengan penjajahan. Kedua kata tersebut memiliki makna yang berlawanan. Merdeka atau tidak
terjajah. Kemerdekaan adalah bebas dari penjajahan. Sebagaimana tertuang didalam UUD tahun 1945 “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
”oleh karena itu kemerdekaan adalah hak setiap bangsa di dunia dan merupakan hak asazi setiap manusia. Perempuan yang sering sekali dianggap sebagai makhluk nomor dua setelah laki-laki yang pemikirannya, tindakannya, partisipasinya dianggap ada setelah laki-laki ditambah lagi dengan budaya patriarki bukti sejarah mencatat bahwa banyak mendapatkan perlakuan yang tidak adil karena budaya ini. Membuat justifikasi atau doktrin-doktrin yang mensubordinatkan perempuan.
Berbicara tentang kemerdekaan adalah hak asazi setiap manusia tentu ada problematika makna kemerdekaan itu terkhusus makna kemerdekaan bagi perempuan.
Kemerdekaan bagi perempuan bukan sekeder diberikan hak untuk mendapatkan pendidikan, penghidupan yang layak, dan kebebasan berpendapat
tetapi lebih dari pada itu kemerdekaan yang sesungguhnya lebih mengarah ke rasa aman atau terbebas dari segala bentuk kekerasan.
Tujuh puluh delapan tahun kemerdekaan telah berada ditangan bangsa ini. Dari masa ke masa dari waktu ke waktu peringatan kemerderkaan layaknya hanya sekedar memperingati hari ulang tahun sesuai dengan tanggalnya saja.
Memperingati tentu seharusnya merupakan momentum refleksi untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Bahkan hingga saat ini negara yang dikategorikan merdeka namun masih saja terus terjadi pelanggaran hak asazi manusia terhadap perempuan seolah perempuan adalah bukan manusia.
Masih banyaknya diskriminasi atas nama jenis kelamin atau yang familiar disebut sebagai seksisme. Diskriminasi atas peran dan fungsi juga masih sering terjadi atau bisa disebut dengan diskriminasi gender.
Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik,
kekerasan psikis bahkan kekerasan seksual. Sering sekali korban dipandang sebagai pihak yang bersalah yang dipandang dari satu kacamata saja.
Bahkan sering sekali korban disugesti secara mendalam untuk memaafkan kekerasan itu dengan dalil untuk
ketentraman bersama padahal hal demikian tidak seharusnya dijadikan sebagai budaya karena jika hanya sekedar minta maaf semua orang bisa melakukannya.
Sudah sewajarnya bahwa kita menjadi kaum yang menolak keras kekerasan dan menganggap bahwa tidak ada maaf untuk itu. Sungguh tragis nan menyedihkan kaum perempuan sampai
kemerdekaan hari ini belum merdeka sepenuhnya.
Dibuktikan dengan tubuhnya masih menjadi bahan eksploitasi, pemikirannya
masih dibatasi dan perannya dikurangi dalam kehidupan sosial. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvenan Internasioal tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPPJM) menggaris bawahi pemberdayaan perempuan
yang artinya bebas dari segala bentuk diksriminasi dan kekerasan dan tujuan pembangunan berkelanjutan adalah kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan.
Demikian krusialnya masalah kekerasan terhadap perempuan termasuk hukum tentang perempuan penanganan kekerasan berbasis gender masih mengalami kendala secara hukum, seperti definisi perkosaan yang hanya didasarkan pada penetrasi penis, kegagalan untuk mengkriminalisasi perkosaan dalam perkawinan di bawah KUHP, dan tidak adanya referensi perkosaan maupun perkosaan dalam perkawinan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Ini hanya salah satu contoh hukum yang masih ambigu yang menyangkut tentang perempuan. Masih ada beberapa
ketentuan hukum itu berpotensi untuk memarginalkan perempuan.
Keadaan tersebut terjadi dengan didasarkan pada hubungan
antara hukum dengan relasi kuasa yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan.
Sebagai refleksi hari kemerdekaan bangsa hari ini yang ke 78 tahun. dari sudut pandang kami sebagai kaum perempuan mendorong negara untuk mempertegas penerapan hak-hak
konstitusional perempuan dan merevisi kembali UU tentang yang berkaitan dengan perempuan agar dapat menekan atau meminimalisir kasus kekerasan terhadap perempuan.
Moment kemerdekaan bukan sekedar upacara atau simbolik peringatan perjuangan pahlawan saja melainkan refreksi dari berbagai sudut demi kemajuan bangsa ini. Moment untuk lebih banyak mengkampanyekan perlindungan terhadap perempuan di indonesia, meneguhkan semangat yang berspektif keadilan bagi seluruh rakyat indonesia.
Keadilan sejatinya adalah bebasnya kita dari intimidasi baik dari segi pola pikir, peranan, dan tindakan. terkhusus keadilan yang sebenarnya adalah ketika kemerdekaan perempuan atas dirinya, terbebasnya perempuan dari kekerasan itulah defenisi keadilan yang diinginkan oleh kaum perempuan.
“Kemerdekaan perempuan yang sesungguhnya adalah ketika mereka terbebas dari berbagai bentuk kekerasan”