Saya lebih takut kepada Allah SWT daripada corona! Kalimat ini barangkali sering kita dengar, baik di media sosial maupun di lingkungan sekitar kita.
Hal ini terjadi setelah pemerintah mengeluarkan fatwa tentang pembatasan sosial dan perubahan tata cara beribadah. Fatwa ini sebagai upaya pencegahan penularan pandemi di Indonesia.
Namun apa jadinya jika banyak masyarakat yang berdalih tidak takut terhadap virus ini berkeliaran dimana-mana termasuk berkerumun tanpa pelindung apapun? Padahal virus covid-19 ini tidak memandang suku, ras, ataupun agama. Siapapun yang terkena dan imunitasnya lemah maka bisa beresiko buruk bagi kesehatan dan nyawanya.
Oleh karena itu, penulis yakin penularan covid-19 ini akan semakin cepat jika perilaku masyarakat dalam memahami agama kurang tepat di tengah pandemi ini. Empat pemahaman keliru tentang agama berikut adalah penyebab utama penularan covid-19.
4 Pemahaman Keliru Tentang Agama
Pemahaman pertama yakni mengganggap covid-19 ini sebagai ujian dari Tuhan dan hanya boleh pasrah dan takut kepada-Nya. Sehingga takut pada selain Allah, dalam hal ini virus corona, dianggap sebagai syirik. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya orang yang masih berjamaah di masjid tanpa mematuhi aturan physical distancing seperti tidak menjaga jarak, masih bersalaman, atau ada juga yang masih liburan ke tempat-tempat public seperti taman hiburan dan mall.
Padahal jika dipahami dengan benar, takut terhadap covid-19 ini juga merupakan wujud keimanan kepada ketetapan atau qada’ dan qadar Allah SWT. Sehingga menimbulkan sikap waspada dan pencegahan, bukan malah tidak takut sama sekali.
Pemahaman keliru yang kedua adalah menganggap corona hanya bisa menjangkit para pendosa sebagai wujud kutukan Tuhan YME. Orang yang memercayai pemahaman ini biasanya hanya memahami penyakit dari segi spiritual baik kepada ustadz atau pemuka agama saja, dan menolak pemahaman secara medis dan sains.
Dalam hal ini, para tokoh agama seharusnya memiliki peran penting dalam mengedukasi para jamaah bahwa pentingnya mematuhi anjuran pemerintah.
Corona Menjadi Penghalang Beribadah
Pemahaman ketiga yakni menganggap aturan MUI untuk dianjurkan tidak sholat berjamaah di masjid. Mereka manganggap pemerintah telah melarang orang untuk beribadah dan melanggar HAM tentang kebebasan beribadah.
Hal ini perlu diluruskan bahwa pemerintah tidak melarang beribadah. Akan tetapi mencegah penularan virus dengan beribadah dirumah untuk sementara.
Selain itu, masyarakat yang memahami hal ini juga terlalu memberhalakan simbol-simbol keagamaan. Padahal Tuhan berada dimana saja dan dekat denganNya tidak harus dengan cara berada di tempat ibadah. Hal terpenting adalah ketundukan hatimu kepada-Nya.
Pemahaman keempat yakni mencari peluang dari kelangkaan bahan pangan dan alat kesehatan dengan cara menjual produk kesehatan yang langka atau makanan. Penjualannya dengan berdalil ayat-ayat kitab suci dan berlabel anti corona.
Hal ini dilakukan demi menarik minat pembeli tanpa memperhatikan dampak kehidupan sosial.
Perilaku ini tidak sepantasnya dilakukan oleh orang yang mengaku beriman kepada Tuhan YME. Bahkan karena kelangkaan ini harusnya dijadikan ajang para umat beragama saling bersatu untuk saling membantu.
Oleh karena itu, pemahaman agama secara menyeluruh dan utuh haruslah didukung oleh semua pihak mulai dari pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, para pedagang, hingga masyarakat.
Pemahaman keliru tentang agama meliputi bersikap tidak takut pada corona, kutukan Tuhan YME, anjuran yang dianggap larangan beribadah, dan menyebar hoax dalam dagangan dengan berdalih agama untuk meraih keuntungan.
Akibatnya, penularan covid-19 ini akan semakin meluas jika perilaku umat beragama di Indonesia kurang tepat dalam menyikapi aturan-aturan pencegahan penularan dari pemerintah.
Penulis : Fisabillilah Sophyan Prayogo