Sampai saat ini euforia dari hari pendidikan nasional masih dirayakan dengan sekedar memberikan ucapan melalui berbagai platform digital. Padahal esensi dari hari peringatan tidaklah sesempit itu. Pada hakikatnya, hari peringatan dibuat untuk mengingatkan kita semua bahwa ada suatu hal esensial di negara ini yang harus kita selesaikan, dan tentu penyelesaian dari masalah itu tidak bisa dicapai hanya dengan sentuhan jari.
Pendidikan masih menjadi problematika yang tak kunjung terselesaikan di negara ini, revolusi industri yang telah mempengaruhi gaya pendidikan nusantara dengan pendidikan kolonialnya membuat pendidikan hari ini bukan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dan pengembangan minat bakat peserta didik, namun ditujukan untuk memenuhi kepentingan industri global. Itulah sebabnya asas pendidikan hari ini adalah asas keseragaman, bukan keberagaman.
Keseragaman dipandang sebagai suatu hal yang sakral dalam sistem pendidikan kitw. Hal inilah yang menjadikan mereka yang memiliki kompetensi berbeda dengan kehendak institusi akan terdiskreditkan dari permukaan. Selain itu, persentase stagnansi kognitif dalam prosesi belajar siswa semakin meningkat karena pendidikan hari ini masih menganut sistem pendidikan yang Paulo Freire sebut dengan pendidikan gaya bank, dimana guru menjadi sentral otoritas dalam memberikan informasi sedangkan siswa menjadi pihak tertindas yang senantiasa menjadi pengikut yang tak berhak berargumentasi.
Dehumanisasi dalam pendidikan seperti ini membuat berbagai pihak tidak ragu lagi untuk melakukan komersialisasi pendidikan, dimana sekolah selaku komunitas formal yang seharusnya didesain untuk mencetak generasi unggul di masa depan justru malah menjadi komoditas frontal yang didesain untuk meraih profit berskala besar atas eksploitasi peserta didik selaku budak dari institusi pendidikan.
Upaya Pemerintah Bagi Pendidikan
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, khususnya jajaran kementerian pendidikan, namun sayangnya tidak ada kontiunitas ataupun integrasi program diantara para menteri yang lalu dengan menteri yang baru. Hal ini berimplikasi pada terciptanya lingkaran setan yang terus menjebak kita untuk mendesain konsep pendidikan ideal yang baru, lagi dan lagi.
Ilusi lingkaran setan itulah yang menjadikan pendidikan di nusantara ini tidak mengalami progres yang signifikan. Sehingga ketika negara dihadapkan dengan situasi genting seperti pandemi Covid-19 seperti saat ini, semua lisan membeku dan tidak ada satupun orang yang mampu membantah bahwa akan muncul problematika baru yang mengganggu kelancaran proses pendidikan saban waktu.
Sebagaimana yang dikatakan Sailal Arimi selaku Pakar Ilmu Linguistik Universitas Gajah Mada bahwa pendidikan jarak jauh saat ini telah membuat kemampuan belajar murid menurun.
Selain itu, banyak sekali kasus yang terangkat ke publik terkait masalah pendidikan pasca pandemi, mulai dari menyalahgunakan kuota belajar yang dihibahkan oleh beberapa provider dengan menjadikannya kuota reguler untuk internet dan bermain gim, meningkatnya tingkat stress yang dialami orang tua yang harus berperan ganda untuk menafkahi sekaligus menggantikan peran sekolah dalam mendidik anak, dll. Inilah masalah pendidikan hari ini, lantas apakah semua masalah tersebut akan sirna hanya dengan mengucapkan “selamat hari pendidikan nasional”? Tentu tidak.
Peringatan hari pendidikan nasional adalah momentum untuk berinstropeksi diri, sejauh mana kontribusi yang telah kita berikan untuk menyelesaikan problematika ini? Jika seseorang ditanya “apakah kamu cinta indonesia dan ingin memajukannya?” tentu ia akan menjawab iya, tapi sebagaimana yang kita tahu, hanya butuh beberapa saat untuk mengatakan cinta tetapi diperlukan waktu seumur hidup untuk membuktikannya. Salam Pendidikan!
Oleh : Muhammad Fajar Siddiq Ramadhan (Kader IMM FPB UMY)
DAFTAR PUSTAKA
Freire, P. (2018). Pedagogy of the oppressed. Bloomsbury publishing USA.
Postman, N. (2011). The end of education: Redefining the value of school. Vintage.
https://edukasi.kompas.com/
https://gizmologi.id/
https://republika.co.id/