Menu

Mode Gelap
Kasus Pembakaran Rumah Sempurna Pasaribu di Tanah Karo: Polda Sumut Tambah Tersangka Baru Polri Gunakan Teknologi Canggih untuk Seleksi Akpol 2024 Terungkap! Identitas dan Peran 2 Eksekutor dalam Pembakaran Rumah Sempurna Pasaribu Rektor UM Tapsel Kukuhkan 146 Guru Profesional, Kepala LLDIKTI Wilayah I: Jangan Berbisnis Apapun Di Sekolah Kejahatan Siber Merebak: Pembelajaran Preventif Masyarakat Kunjungan Mahasiswa MBS UIN Syahada Sidimpuan ke UMKM: Memahami Proses Bisnis dan Pemasaran Digital

Narasi

OLIGARKI BERJUANG UNTUK KORPORASI DAN RAKYAT TERLANTAR SERTA SULIT BEREAKSI

badge-check


					OLIGARKI BERJUANG UNTUK KORPORASI DAN RAKYAT TERLANTAR SERTA SULIT BEREAKSI Perbesar

Oleh Leonard Manuputty
Kader GMKI Cabang Ambon, Maluku

Permasalahan sosial adalah bentuk dinamika rumah tangga dalam sebuah negara, cara menyelesaikan permasalahan tersebut dikembalikan kepada orang tua kita yaitu si pembuat kebijakan dan si pelaksana kebijakan.

Kalau dianalogikan dalam bahtera rumah tangga si pelaksana kebijakan adalah bapak kita sendiri, si pembuat kebijakan adalah ibu kita, dan anak-anaknya adalah kita sendiri sebagai masyarakat.

Analogi sederhana tersebut dapat direlevansikan dengan kehidupan Indonesia sekarang, karena permasalahan serta ego dari kepentingan kedua lembaga tersebut yang kita analogikan sebagai bapak dan ibu sehingga memunculkan watak otoritarianisme yang dapat menimbulkan berbagai macam permasalahan yang dibuat sehingga masyarakat yang berperan sebagai anak tadi diterlantarkan dan tidak dihiraukan tanggapan serta keresahannya.

Seperti perumpaan dikatakan banyak orang “Kalau ada asap pasti ada api”. Ya, tepat sekali perumpaan tersebut bisa digambarkan dengan situasi Indonesia sekarang.

Kita mulai menilisik sebenarnya apa saja permasalahan Indonesia akhir-akhir ini salah satunya ialah permasalahan yang dihadapai Indonesia seperti yang diberitakan dalam (Detik Finance – Hendra Kusuma, Kamis 01 Agustus 2019) Menurut Sri Mulyani Mentri Keuangan kita sekarang, tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjaga momentum pertumbuhan ditahun 2019 berasal dari nilai tukar, tingkat inflasi, hingga defisit transaksi berjalan (CAD).

Ditambah lagi beberapa lembaga internasional seperti IMF telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi ke level 3,2% dari yang sebelumnya 3,6%.

Ketidak teraturan dalam perputaran siklus perekonomian yang ada di Indonesia menjadi permasalahan yang perlu ditangani lebih intens agar kestabilan ekonomi tersebut dapat merambat juga pada stabilitas sektor perencanaan dalam pemerintahan, diperlukan kebijakan-kebijakan akurat yang dimana untuk meningkatkan produktivitas nasional.

Untuk itu hal yang selalu diutamakan pemerintah sekarang kestabilan dalam bidang perekonomian tadi. Permasalahan terus bertambah, keresahan rakyat pun bahkan bertambah pula.

Permasalahan ekonomi tersebut menjadikan pemerintah membuat kebijakan dengan sebelah mata saja sehingga banyak kebijakan yang dibuat sangatlah kontroversial.

Salah satu permasalahan kebijakan kontroversial di tahun 2019 yang dibuat yaitu RUU KPK, dan RUU KUHP Badan Legislasi DPR-RI memulai pembahasan untuk mengesahkan RUU tersebut dan rencana akan disahkan, dan selesai dalam pembahasan di Komisi III DPR RI pada Desember 2019.

Pembahasan rancangan tersebut menuai kontroversi di ranah publik lantaran terdapat pasal-pasal kontroversi yang menimbulkan keganjalan didalamnya.

Pembahasan tersebut mengakibatkan demo besar-besaran di seluruh Indonesia layaknya seperti tahun 1998 demo pada saat 2019 lalu menimbulkan jiwa semangat mahasiswa sebagai seorang yang membawa perubahan kritis bagi masyarakat tertindas bertumbuh kembali, sehingga berujung pada penundaan revisi undang-undang pada pasal yang kontroversial tadi dan berharap bisa diperbaiki pasal-pasal tersebut.

Kebijakan yang dibuat pemerintah sangat meresahkan rakyat, kekritisan serta analisis masyarakat dalam memantau sebuah kebijakan pemerintah membentuk masyarakat semakin menggebu-gebu untuk memberontak.

Pemerintah akhir-akhir ini sedang sakit sepertinya, seharusnya dalam membuat peraturan menurut UU 12 Tahun 2011 diperlukannya peran partisipasi masyarakat dalam membentuk sebuah payung hukum agar dapat menganalisis segala sektor kebijakan yang telah dibuat, diperlukan setiap perwakilan elemen masyarakat untuk itu agar nilai demokrasi dapat terwujud.

Instrumen yang penting dalam membuat kebijakan harus melihat dua bagian yaitu sengsarahkah rakyat, atau sejahterahkah rakyat hal ini harus dilihat dalam keseluruhan aspek karena birokrasi hadir untuk mempermudah bukan untuk mempersulit segala hal, benar kata Karl Marx seorang filsuf dan sosiolog Prusia, Jerman dalam pandangannya melihat hukum dan pemerintah dalam konteks sekarang hukum dan pemerintah lebih banyak berpihak pada kaum borjuis dibanding proletar, teori konflik yang dihubungkan dengan negara menurut Marx memunculkan apa yang dinamakan sebagai perspektif konflik, perspektif ini melihat masyarakat sebagai sesuatu yang selalu berubah, terutama sebagai akibat dari dinamika pemegang kekuasaan yang terus berusaha menjaga dan meningkatkan posisinya.

Dalam mencapai tujuannya, suatu kelompok seringkali harus mengorbankan kelompok lain. Karena itu konflik selalu muncul,dan kelompok yang tergolong kuat setiap saat selalu berusaha meningkatkan posisinya dan memelihara dominasinya.

Entah apa yang dipikirkan lembaga legislatif kita sekarang padahal untuk menjalankan fungsi legislasi DPR sendiri harus memperhatikan tiga hal yaitu, identifikasi masalah/isu problematika dalam negara, analisis opsi kebijakan yaitu proses legal drafting, baru menentukan opsi kebijakan dan rencana implementasi kebijakan dilapangan, teori penerapan apa yang dianalisis oleh lembaga legislatif tanpa mempertimbangkan segala hal tadi sehingga membuat rakyat resah.

Tingkat batas kesabaran rakyat diuji semenjak pelantikan presiden pada oktober 2019, pada saat itu dalam pidatonya Presiden Joko Widodo menggaungkan yang namanya Omnibus Law.

Omnibus Law sendiri suatu metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.

Berdasarkan penjelasan terkait Omnibus Law tadi perlu kita ketahui bersama bahwa Omnibus Law ini diterapkan oleh negara-negara yang menganut System Common Law contoh yang sudah menerapkan sistem ini yaitu Amerika, Selandia Baru, dan Kanada, sementara Indonesia sendiri menganut System Civil Law bisa dibayangkan kalau penerapan sistem tersebut diterapkan di negara berkembang atau negara maju.

Latar belakang mengapa ada Omnibus Law di terapkan di Indonesia menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan dari 4 tahun terakhir dari 2014 ada sekitar 8.945 regulasi baru, 107 berupa Undang-Undang, 452 Peraturan Pemerintah, 765 Peraturan Presiden, dan ada 7.621 Peraturan Kementerian itu yang melatarbelakangi Omnibus Law yang biasa disebut undang-undang sapujagat yang katanya untuk semua padahal untuk sekolompok orang saja.

Artinya dengan banyaknya undang-undang di Indonesia tadi yang tumpang tindih dan dengan kehadiran Omnibus Law dapat menjadi metode taktis pemerintah menyelesaikan permasalahan tersebut.

Awalnya tujuan utama yang diterapkan pemerintah untuk menyatukan undang-undang yang tumpang tindih tadi mendapat respon baik dari masyarkat seiring berjalannya waktu isi dari Omnibus Law tersebut yang menimbulkan permasalahan itu muncul.

Dalam pembahasan Omnibus Law tidak membahas satu rancangan saja akan tetapi ada beberapa rancangan dalam pembahasan Omnibus Law diantaranya ialah RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan, Omnibus Law Ibukota Negara, dan Kefarmasian.

Dari beberapa rancangan pembahasan, sekarang saya akan berfokus pada kebijakan yang kontroversial yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja berikut kita akan mengulasnya dan mengetahui dampak serta permasalahan bila RUU tersebut diterapkan dan siapa yang untung dibalik semua ini.

RUU CIPTAKER adalah rancangan undang-undang Omnibus Law yang menjadi RUU yang kontroversial dan beberapa dari pasalnya dianggap tidak memiliki tolok ukur yang jelas, masyarakat sering sebut itu pasal karet.

Dalam pasal yang telah dirancang serta dibahas tersebut beberapa pasal diantaranya sangat merugikan buruh. Poin-poin RUU Cipta Kerja yang disorot buruh ialah :

  1. Upah didasarkan persatuan waktu
  2. Upah minimum hanya didasarkan pada UMP
  3. Sanksi pidana bagi pengusaha yang membayar upah dibawah upah minimum dihilangkan
  4. Tidak ada denda bagi pengusaha yang terlambat membayar upah,
  5. Pekerja yang di PHK karena mendapatkan Surat Peringatan Ketiga tidak lagi mendapatkan pesangon
  6. Pekerja yang mengundurkan diri tidak mendapatkan apa-apa
  7. Pekerja yang di PHK karena memasuki usia pension tidak lagi mendapatkan pesangon
  8. Kewajiban TKA untuk memahami budaya Indonesia hilang. Dengan demikian , TKA tidak diwajibkan bisa berbahasa Indonesia
  9. Pekerja yang meninggal dunia, kepada ahli warisnya tidak lagi diberikan sejumlah uang sebagai pesangon
  10. Pekerja yang di PHK karena mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja ketika di PHK tidak lagi mendapatkan pesangon.

Itulah beberapa pasal-pasal yang sangat merugikan buruh, masih ada beberapa lagi pasal yang merampas segala hak buruh sebagai pekerja.

Kita diperhadapkan dengan negara yang sekarang berwatak fasisme, ke otoriteran pemerintah dalam menjalankan ronda kepemerintahan membentuk sikap egosentris yang muncul dari masing-masing individu sampai kepada kelompok dominan.

Dalam Pedagogi kritis dan Literasi kritis menurut Paulo Freire dia filsuf asal Brazil dalam konsep hegemoninya Paulo Freire berpendapat bahwa kelompok dominan yang berwatak fasisme tadi menjadi ukuran seseorang bebas melakukan segala sesuatu tanpa memikirkan orang lain, Indonesia yang mempunyai sistem Demokrasi Pancasila yang berkeadilan seketika luntur akibat pergerakan oligarki tersebut yang bekerja sama dengan lembaga pemerintah tersebut.

Dalam pasal tersebut perusahaan asing dibuat berlenggang bebas untuk masuk dan keluar Indonesia, hal yang diutamakan oleh pemerintah ketika RUU CIPTAKER di implementasikan ialah Tenaga Kerja Asing (TKA) sangat diperhatikan sementara dari sektor SDM Unggul Indonesia tidak didahulukan bahkan dikesampingkan, mana amanat UUD 1945 ? Apakah sudah diterapkan sepenuhnya ?

Mari kita renungkan bersama. Lembaga Eksekutif bahkan terburu-buru dalam mengejar ketuk palu Omnibus Law tanpa mempertimbangkan suara rakyat kita sudah seperti kembali kepada masa orde baru saja yang semua berpatokan kepada pemerintah dan lebih spesifiknya kita seakan menganut sistem yang sentralistik sehingga hak otonomi disetiap daerah bahkan tidak diterapkan kembali ketika Omnibus Law ini di jalankan, mungkin saudara-saudara kita dari Papua akan bersuara merdeka karena haknya telah di ambil alih oleh rezim Joko Widodo yang sekarang sangat fasis.

Kalau begitu Indonesia tidak perlu menganut sistem Demokrasi Pancasila, Indonesia haruslah menganut sistem negara komunis sehingga pemerintah bisa dapat mengatur segala kebijakan yang ada di negara ini kaum feodalisme dapat berlenggang bebas dan akhirnya masyarakat Indonesia yang miskin tambah miskin, yang kaya semakin kaya itulah prediksi yang sekiranya bakalan terjadi ketika metode ini diterapkan.

Selain merugikan buruh kalau kita bisa analisis bersama dalam sektor pembahasannya dibagi lagi menjadi enam bagian yaitu : Sektor Pendidikan, Sektor Ekonomi, Sektor Ketenaga Kerjaan, Ekologi dan Tata Ruang.

Kalau kita bahas dan kaji dalam sektor pendidikannya salah satu program dari Nadiem Makariem yang katanya Menteri Milenial sempat terdengar akan mencanangkan sebuah program yang namanya Kampus Merdeka kalau kita analisis bersama dengan teliti program kebijakan tersebut sangatlah berkaitan dengan beberapa pasal kontroversial tadi.

Dalam program Kampus Merdeka memberikan keluasan bagi mahasiswa dengan jatah dua semester untuk kegiatan diluar, semacam magang diluar selain magang diluar kemudian fokus tujuan tersebut dibuat lebih keimplementasian sektor perindustrian yang dimana bisa melahirkan SDM Unggul katanya, mungkin sampai sini kita bisa tangkap apa tujuannya dari pencanangan program tersebut.

Apalagi nantinya akan dibangun fakultas yang memiliki arah tujuannya ke perindustrian apa hasilnya jika semua dilakukan. Bisa dibayangkan lagi apabila RUU Omnibus Law diterapkan lalu dengan beriringan berjalannya program Kemendikbud, pasti sumber daya mahasiswa dimanfaatkan dengan tidak dibayar upahnya, bahkan kalau dibayar juga tidak sesuai dengan apa yang mereka kerjakan bahaya sekali bila penerapan ini diterapkan kita akan menjadi budaknya korporasi.

Itu salah satu hal yang mungkin menjadi permasalahan besar, dan akan terus mendarah daging selamanya ketika hal itu terjadi kita akan dipermainkan oleh perusahaan yang hanya memanfaatkan jasa mahasiswa dengan program kebijakan yang dibuat tadi.

Setelah itu dalam undang-undang sisdiknas dan undang-undang upt sebagian pasal telah dihapuskan bahkan ada yang ditambahkan yaitu kedua diantaranya pengapusan penghukuman lembaga pembuat ijazah palsu, lalu perguruan tinggi tanpa izin bebas berkeliaran, bentuk ketidakadilan muncul kembali disini apabila adanya penghapusan tersebut kita bisa tahu bersama bahwa mahasiswa yang bisa berkuliah setinggi mungkin tanpa melewati proses apapun adalah mahasiswa yang mempunyai uang saja, sisanya mereka berjuang mati-matian untuk mendapatkan gelar tersebut dengan susah payah.

Lagi – lagi sifat feodalisme bermunculan disini pihak yang dominan tadi lebih memiliki kebebasan untuk melakukan segala hal, sementara yang tidak memiliki apa-apa bersusah payah untuk mendapatkan hal yang seharusnya memang didapatkanya melalui perjuangan.

Apalagi kebebasan untuk Tenaga Kerja Asing untuk masuk sudah pasti kapasitas kita sebagai SDM Unggul Indonesia kalah dengan mereka, ditambah perusahaan asing bebas masuk lengkap sudah penderitaan Indonesia.

Indonesia akan kembali ke masa lampau yang tanpa disadari membuat masyarakat Indonesia akan semakin ditindas dalam kebodohannya, ditambah kita akan terus dimainkan oleh perusahaan karena harapan untuk menjadi pekerja tetap juga telah dihapus, maka yang terjadi besar kemungkinan para generasi yang akan datang akan menjadi pekerja kontrak selamanya, korporasi asing akan terus menjadi penyakit bagi masyarakat Indonesia.

Dalam hal ini pemerintah seharusnya tidak memikirkan ego sektoral mereka, yang harus jadi prioritas utama adalah pembangunan SDM yang unggul, kalau memang mau menerapkan hal tersebut dan ingin perusahaan asing mempercayai Indonesia haruslah berpikir matang-matang kalau hal tadi terjadi, mutu kualitas SDM di Indonesia sudah pasti tidak akan dipercayai oleh perusahaan asing, sudah pasti TKA yang menjadi pekerja dengan profesi tinggi sementara tenaga kerja yang ada di Indonesia akan terus menjadi pesuruh saja tanpa jaminan yang jelas, kita sudah persis seperti hidup dizaman penjajah saja kalau begitu.

Maka dari itu berbagai macam bentuk permasalahan sekarang yang kita hadapi dari sisi pemerintah harus jeli selaku penggerak roda negara ini pembahasan harus dilakukan dengan prosedur serta dengan kajian-kajian yang komperhensif.

Untuk itu diharapkan DPR-RI sebagai lembaga legislatif harus memerlukan skala prioritas yang jelas dan harus melihat permasalahan yang urgent sekarang yaitu fokus pada penanggulangan Covid-19 ketika pemerintah ingin mengejar ketuk palu RUU Omnibus Law demi melihat perkembangan dari sektor ekonomi maka dari itu saya akan katakan pemerintah sudah tidak punya prikemanusiaan bisa dibilang terlalu sempit dalam melihat satu pandangan itu membuat segala kebijakan yang dibuat akan kalang kabut, tak lupa saya ulangi kembali ego sektoral tadi jangan diterapkan pada keadaan sekarang, pikirkan dampak kedepan nilai-nilai yang harus diutamakan adalah nilai kemanusiaannya sendiri itu kuncinya.

DPR yang mempunyai fungsi kontroling kayanya tidak gunakan fungsi kontroling lagi kenapa saya berkata demikian tidak adanya pengontrolan dari Lembaga Legislatif untuk mengawasi Lembaga eksekutif seolah lost pengawasan, ini adalah permasalahan penyakit yang sangat darurat karena itu yang harus di utamakan adalah kesehatan rakyat serta yang dibutuhkan sekarang adalah APD. Manfaatkan segala kucuran dana dari sektor yang ada untuk membeli APD tersebut.

Mungkin dalam benak pemerintah masyarakat lagi difokuskan dengan PSBB, Social Distancing, dan lain sebagainya sehingga mereka seenaknya membahas RUU tersebut, watak ini sangat terlihat sekali mengejar kepentingan oligarki saja.

Entah kepentingan partai, kepentingan individu, kepentingan perusahaannya dimasukkan kedalam pembuatan kebijakan makanya terlihat tidak adanya kesterilan dari dalam pemerintah.

Langkah solutif yang harus dilakukan oleh pemerintah lakukanlah dan buatlah kebijakan tadi dengan mengakomodir segala kepentingan rakyat itu hal yang utama, kalau ada kritikan dari rakyat terima dan jadikan sebuah bahan diskusi bersama jangan pemerintah terlihat acuh dan memunculkan watak fasismenya sehingga menjadikan Indonesia ini tidak berlandaskan kepada demokrasi Pancasila tadi.

Kerja sama yang baik kepada masyarakat dan pemerintah terkhususnya rakyat harus lebih teliti dan memantau kembali segala pergolakan yang terjadi di Indonesia.

Akhir tulisan ini saya mau sampaikan bahwa bila rakyat sudah bersuara itu berarti sudah bahaya maka dari itu pemerintah perlu melihat dan mendengarkan kritikan dari setiap elemen masyarakat agar terciptanya keterbukaan serta transparansi.

Baca Lainnya

Menginspirasi Lewat Karya, Dr. JWS Rizki Bawa UIN Syahada ke Panggung Internasional

28 Agustus 2024 - 10:06 WIB

Dr. Juni Wati Sri Rizki, S.Sos., MA Lolos dalam Program Bantuan Penelitian Litapdimas Pusat Tahun Anggaran 2024

BPD Tabuyung Resmi Dilantik, Camat Muara Batang Gadis Tekankan Peran Pengawasan dan Kompak!

22 Januari 2024 - 16:31 WIB

Hati-Hati dalam Berdiksi

30 September 2023 - 23:52 WIB

Kapolres Zamroni Beri Penghargaan ke Masyarakat yang Berpartisipasi Ungkap Kasus Narkoba

13 September 2023 - 23:42 WIB

Sat Resnarkoba Polres Tapsel Berhasil Menangkap Pengedar Sabu

15 Juni 2023 - 16:34 WIB

Trending di Kepolisian