Berangkat dari sebuah pengalaman yang sayang kiranya kalau tidak dituangkan dalam bentuk tulisan sederhana. Tulisan ini lahir, berpijak pada fenomena alam dalam bentuk virus yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini, ya itulah corona virus.
Manusiawi jika seluruh manusia cukup khawatir dengan mewabah dan masifnya virus ini. Sehingga dalam rangka mencegah percepatan virus agar tidak menyebar, maka dibuatlah serangkaian aturan untuk membatasi mobilitas manusia agar tercegah dari virus ini.
Meski begitu, masih ada saja pihak-pihak yang dengan sengaja membangun isu tak berdasar terkait dengan keberadaan virus ini, terlebih perkembangan arus informasi yang kian tak terbendung dewasa ini. Hal yang terkadang dilupakan oleh banyak orang adalah sesungguhnya isu dibuat dan disebarkan sesuai dengan kepentingan si pembuat isu.
Sayang nya banyak orang yang terjerat pada satu pernyataan yang disebarluaskan dan berkembang liar. Benarlah pernyataan yang banyak dikatakan oleh pakar komunikasi bahwa “isu yang tidak benar, namun diiproduksi secara berulang, lambat laun akan dianggap menjadi sesuatu yang benar”.
Melihat fenomena ini, penulis tertarik untuk mengungkap satu keadaan yang familiar disebut dengan post truth era dimana sederhananya post truth era memiliki pengertian bahwa “kebenaran bukan berangkat dari fakta yang sebenarnya, tetapi dilihat dari seberapa banyak orang maupun media yang memproduksinya”.
Terminologi post truth ???
Penggunaan istilah Post-Truth sebenarnya pertama kali digunakan pada bulan Januari tahun 1992 dalam sebuah artikel pada Nation Magazine. Artikel tersebut ditulis oleh seorang penulis keturunan Serbia-Amerika, Steve Tesich.
Tesich berusaha menggamabarkan apa yang disebutnya “the Watergate syndrome” dimana semua fakta-fakta buruk yang diungkapkan di masa kepresidenan Richard Nixon malah membuat warga Amerika meremehkan kebenaran sebab itu bukanlah hal nyaman untuk mereka percayai. Ia juga menggunakan kata post-truth sebagai refleksinya atas skandal Iran-Kontra dan Perang Teluk Persia.
Dalam artikel tersebut ia menuliskan bahwa kita, sebagai manusia yang bebas, telah memutuskan bahwa kita ingin hidup di era post-truth. Kalimat ini merupakan cerminan dari kegelisahan Tesich terhadap perilaku para politisi dan Pemerintah yang sengaja memainkan fakta dan data yang objektif atau bahkan tidak menggunakannya sama sekali demi memanipulasi opini publik.
Post-truth dapat didefinisikan sebagai kata sifat yang berkaitan dengan kondisi atau situasi dimana pengaruh ketertarikan emosional dan kepercayaan pribadi lebih tinggi dibandingkan fakta dan data yang objektif dalam membentuk opini publik.
Pemungutan suara saat Brexit pada 23 Juni 2016 menjadi momen pertama dimana terdapat lonjakan frekuensi penggunaan istilah Post-Truth. Frekeunsi ini semakin menguat lagi pada bulan Juli ketika Donald Trump menjadi nominasi calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik hingga pada momen pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 8 November 2016.
Hingga saat ini, penggunaan istilah ini belum menunjukkan adanya tanda penurunan frekuensi dan membuat Post-Truth menjadi salah satu istilah yang menentukan di jaman sekarang ini.
Menurut David Patrikarakos, jurnalis berkebangsaan Inggris, era post-truth telah menciptakan post-truth leader mulai dari Vladimir Putin hingga Donald Trump. Mereka menggunakan kelemahan masyarakat untuk dapat mengenali kebenaran demi mencapai kekuasaan.
Semakin banyak keraguan terhadap sebuah informasi yang disebarkan di benak orang-orang , maka akan semakin menguatkan kecenderungan mereka untuk menampikkan kebenaran ketika mereka mendengar atau bahkan melihatnya.
Tujuannya tidaklah lagi untuk membalikkan fakta seperti yang dilakukan politis di jaman dulu tapi jauh lebih buruk, yakni untuk menumbangkan gagasan atau konsep mengenai eksistensi kebenaran yang objektif.
Peran Penyuluh dalam post truth era ??
Dalam defenisi diatas, terang bahwa post truth era menggambarkan kondisi dan keadaan tentang sesuatu terkait dengan penyebaran dan pertukaran informasi, yang tujuannya bukanlah memberikan penguatan informasi yang valid dan bisa dipertanggung jawabkan, melainkan memiliki fungsi untuk menghilangkan eksistensi dari kebenaran itu sendiri.
Peran dan fungsi penyuluh sangat dituntut kinerja nya dalam rangka penyelamatan umat dari isu-isu yang tidak benar dan cenderung menyesatkan. Oleh karena itulah sesuai dengan fungsi penyuluh sebagai fungsi informatif, konsultatif , maupun advokatif harus mampu menjalankan fungsi ini dengan baik dan benar untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Sebagai garda terdepan penyelamatan umat yang langsung turun ke masyarakat, terlebih ditengah arus informasi yang kian berkembang pesat. Penyuluh agama harus mampu menjadi katalisator yang membenarkan umat dari berbagai nformasi yang tidak bias dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Untuk itulah penyuluh dituntut untuk mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan informasi, agar mampu menelaah dan menyeleksi informasi yang valid dan mampu dipertanggung jawabkan.
#Penyuluh Agama Berjaya
Zikri akbar S.Sos.I
(penulis adalah Penyuluh Agama Fungsional Pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nias Utara)