Nama Azizah terus saja disebut melalui pengeras suara yang terdegar begitu jelas. Suara itu berkoar dan menyelinap diantara barisan-barisan siswa yang berkumpul di halaman sekolah. Beberapa panggilan telah didengungkan namun Azizah tak muncul juga.
Suasana pemilihan siswa teladan di sekolah menengah itu menjadi kisruh karena siswa yang dianggap teladan justru tak datang pada hari ini untuk menerima penghargaan.
Ada apa dengan Azizah? pertanyaan ini bersarang di benak siswa-siswa lainnya. Azizah dikenal sebagai siswa yang cerdas, berbudi pekerti dan punya semangat yang tinggi dalam belajar. Mungkin ini juga alasannya hingga Azizah terpilih menjadi siswa teladan untuk tahun ini. Namun hingga acara selesai, Azizah tetap tidak juga terlihat di hari itu.
“Azizah mana ya …?”
“Kenapa Azizah tak datang ke sekolah hari ini?”
“Apa mungkin Azizah sedang sakit?”
Pertanyaan-pertanyaan itu kerap muncul dalam pikiran Hasnah. Sebagai seorang sahabat, tentulah Hasnah khawatir terhadap Azizah. Rasa cemas itu tampak jelas terlukis pada guratan wajah Hasnah.
Selepas pulang sekolah Hasnah memutuskan untuk mampir ke tempat kos-kosan Azizah agar Hasnah tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi pada sahabat baiknya itu dan hingga Azizah tak datang ke sekolah hari ini.
Dengan sepeda motor matic yang Hasnah tunggangi, ia terus melaju menuju arah ke tempat kosnya Azizah. Hasnah bagai berpacu dengan rasa khawatirnya sendiri. Begitulah lumrahnya perasaan seorang teman seperti apa yang dirasakan oleh Hasnah saat ini.
Akhirnya kedua roda sepeda motor Hasnah kini telah membawanya sampai ke depan kosnya Azizah. Sepasang bola Hasnah terperanjat ketika melihat Azizah sedang melangkah lunglai dengan sebuah tas besar yang ia jinjing. Sepertinya Azizah sedang ingin pergi.
“Azizah …!” panggil Hasnah berteriak dari tempat ia menunggangi sepeda motornya.
Azizah menoleh ke arah sumber pekikan itu dan melihat sahabatnya, Hasnah yang sedang berlari kecil mendekatinya.
“Zah, kau hendak pergi ke mana?” tanya Hasnah dengan cemasnya.
“Untuk beberapa hari ini, aku mau pulang kampung, Hasnah!” jawab Azizah
“Tapi kenapa? ini kan bukan libur sekolah,” ujar Hasnah meminta penjelasan sahabatnya itu.
“Ibuku sedang sakit, Has! aku rindu sekali pada ibu.” Azizah menjelaskan alasannya pada Hasnah.
Azizah beranjak dan mulai meninggalkan Hasnah di tempat itu.
“Azizah …! hati-hati …! jangan lupa telpon aku jika kau telah sampai di sana.” Hasnah menyeru sahabatnya yang ingin pergi itu.
Azizah menoleh ke belakang sembari tersenyum kecil sebagai respon baiknya terhadap kepedulian seorang sahabat.
Sedih, cemas, gundah! kata-kata inilah yang menggambarkan suasana hati Azizah saat ini.
Saat dimana setelah Azizah menerima kabar bahwa ibunya kini sedang terbaring sakit karena asma yang dideritanya kumat kembali.
Mengapa tidak, orang tua Azizah sekarang hanya tinggal ibunya saja, wanita setengah baya itu bernama Normah. Sehari-hari Normah hanya bekerja sebagai buruh cuci orang-orang di kampungnya.
Norm ah bukanlah perempuan yang sempurna. Normah adalah seorang ibu tuna wicara alias tak dapat bicara. Normah tak memiliki suara. Sejak dulu Normah memang dikenal seperti itu. Sedikit sekali orang yang mampu berkomunikasi dengan Normah. Normah sekedar bicara dengan menggunakan bahasa isyarat karena hanya itu yang ia bisa.
Seusai menempuh perjalanan yang jauh dari kota Rantauprapat menuju tempat kecil bernama Sei Berombang yaitu tempat ketika dulu Azizah dilahirkan. Azizah pun sampai kerumahnya. Rumah yang begitu sederhana namun memiliki arti spesial bagi Azizah.
Begitu Azizah tiba ia tidak berpikir panjang lagi. Azizah langsung menuju kamar dimana ibunya terbaring sendirian di kamar. Ibu paruh baya itu tertidur pulas. terlihat hentakan napas di dadanya berdegup dengan kencang.