Maluku adalah provinsi kepulauan yang ada di Indonesia, yang terletak diujung timur Indonesia serta berbatasan dengan Laut Seram di utara, Samudra Hindia dan Laut Arafura di selatan, Papua di timur, dan Sulawesi di barat. Ibu kota dan kota terbesarnya ialah Ambon.
Dengan luas lautan yang lebih besar dari daratan membuat Maluku dikenal dengan hasil alam dari lautnya. Tak heran kalau Maluku tepatnya di perairan Lautan Arafura.
Maluku masuk dalam wilayah pengelolaan perikanan RI 718 serta menjadi titik pusat menangkap ikan bagi kapal tonas besar.
Selain kawasan perairan Laut Arafura, Maluku juga menjadi rumah bagi perairan lain yang juga sangat disukai oleh para pencari ikan.
Tak heran, pada 2010 silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menetapkan provinsi tersebut sebagai lumbung ikan nasional (LIN). Penetapan tersebut, menjadi penegas bahwa potensi sumber daya ikan (SDI) di sana sangat melimpah.
Selain hasil produksi ikan yang besar, masih banyak hasil laut yang dihasilkan di Maluku yaitu berupa, cumi, udang, kepiting, dan masih banyak lagi.
Tak hanya di lautan saja, SDA yang ada di daratan tidak kalah banyaknya.
Itulah yang membuat Maluku menjadi sasaran utama bangsa kolonial belanda untuk menjajah Maluku. Karena tujuan utama penjajah pada saat itu mengingini hasil alam yang ada di Indonesia khususnya di Maluku.
Masyarakat Maluku memang sejak zaman nenek moyangnya dulu sangat menyatu dengan alam dan sangat menghargai alam itu sendiri.
Melalui alam dapat melahirkan segala macam hal baik dari tatanan sosial kultural, hingga sampai kepada sistem kepemerintahan.
Alam dan masyarakat di Maluku sebagai totalitas sakral karena masing-masing daerah yang ada di Maluku memiliki ciri khasnya sendiri.
Hal ini dapat dilihat berdasarkan sosio historis, kultural maupun geneologis.
Menurut Aholiab Watloly Guru Besar Filsafat Universitas Pattimura dalam bukunya cermin eksistensi masyarakat kepulauan dalam pembangunan bangsa, alam merupakan bagian dari kaidah sosial yang berbasis atau berciri kepulauan itu menentukan tingkat ketertiban, keamanan, keteraturan hidup di alam kepulauan tersebut.
Jadi, alam kepulauan (gunung tanah dan leluhur atau tete nene moyang) yang berkedudukan sebagai otorisator dan eksekutor sebuah kaidah sosial.
Karena ketergantungannya dengan alam tadi masyarakat Maluku memiliki peran serta menjaga alam itu sendiri. Masyarakat tak terlepas pisahkan dari hal tersebut.
Objek alam itu sendiri melahirkan tatanan sosial bisa berupa adat-istiadat, tingkah laku aturan manusia, serta hukum pemerintahan.
Hingga sampai kepada pemimpin dalam kepemerintahan disetiap daerah dan desa yang ada di Maluku. Bahkan cara berpikir masyarakatnya didasarkan oleh alamnya masing-masing untuk berpikir dalam sebuah rasio alam.
Hakikat dan fenomena rasio alam dalam sejarah pemikiran filsafat, telah begitu kuat dikembangkan oleh filsuf klasik, yaitu dalam filsafat Thales, Anaximenes, dan Anaximandros
Dalam upaya menyingkap hakikat hidup secara rasional untuk mengatasi belenggu mitos yang begitu kuat mendeterminasi manusia.
Aspek sosial, budaya, ekonomi yang ada di Maluku lahir dari kedekatan masyarakat Maluku dengan alam yang sudah sama-sama sejak dulu bersama mereka.
Maka dari itu adat dan budaya Maluku selalu kental dan menjadi darah daging disetiap masyarakatnya.
Meskipun jauh dirantau orang akan tetapi budaya serta asal tempat tinggal masyarakat Maluku sendiri tidak pernah di lupakan.
Adat dan budaya Maluku mulai dari perilaku moral, tarian adat, alat musik, dan kerajinan tangan tradisional sangat banyak sekali.
Keunikan serta ciri khas adat dan budayanya membuat masyarakat manca negara tertarik melihatnya.
Berikut ini adalah sebagian dari budaya dan adat istiadat dari masing-masing daerah yang ada di Maluku diantaranya yaitu :
1. Budaya kalwedo yang berasal dari Maluku Barat Daya
Kalwedo merupakan Bahasa pemersatu masyarakat dari Maluku Barat Daya dengan memiliki makna kepemilikan, kepemilikkan yang dimaksud atas dasar kehidupan bersama orang bersaudara.
Hingga sekarang Bahasa tersebut terus mempersatukan masyarakat Babar maupun di Maluku Barat Daya sendiri dalam mempererat kekerabatan adat.
2. Budaya Hawear berasal dari Kepulauan Kei
Hawear ini dengan sumber sejarah yang dipercaya keberadaannya oleh masyarakat Maluku Tenggara yaitu lebih tepatnya di Kepulauan Kei secara turun temurun.
Budaya ini dikisahkan ada seorang gadis yang diberikan Hawear oleh ayahnya, Hawear sendiri adalah janur kuning. Hawear yang diberikan oleh ayahnya tersebut mempunyai fungsi untuk menjaganya dari gangguan selama dia melakukan perjalanan bertemu dengan Raja.
Hawear yang diberikan oleh sang ayah simbol dari kepimilikannya tersebut, menunjukkan bahwa sang gadis telah dimiliki oleh seseorang. Sehingga, diharapkan Hawear yang dibawa oleh sang gadis tersebut dapat menjauhkannya dari gangguan orang tak dikenalinya.
Sampai saat ini, Budaya Hawear masih dijalankan sesuai dengan makna dan arti yang dipercayai kebenarannya sejak zaman dulu oleh masyarakat sekitar Kepulauan Kei.
3. Batu pamali
Batu pamali adalah sebuah perwakilan dari kehadiran leluhur “Tete dan Nene Moyang” di dalam kehidupan Masyarakat Maluku.
Bentuk Batu Pamali sendiri seperti batu alas dan batu dasar yang diletakkan di samping rumah adat Maluku yang biasa dikenal “Baileo”.
Sistem pemersatu perbedaan soa-soa (kelompok-kelompok orang) yang ada di sebuah negeri/desa adat Maluku adalah Batu Pamali tersebut.
Di sebuah negeri/desa di Maluku, Batu Pamali dimiliki oleh keseluruhan penduduk negeri/desa tersebut, meskipun mereka berasal dari kelompok yang beraneka ragam, termasuk perbedaan agama.