Berangkat dari sebuah pengalaman yang sayang kiranya kalau tidak dituangkan dalam bentuk tulisan sederhana.
Tulisan ini lahir, berpijak pada suatu hegemoni dan atmosfer yang cukup tinggi dalam satu kontestasi musyawarah.
Menjadi satu hal yang wajar jika para kontestan menampilkan keunggulannya masing-masig untuk dianggap layak dan mampu menakhodai bahtera organisasi.
Menuangkan gagasan, membangun kekuatan, sampai membangun isu untuk melemahkan lawan.
Sesuatu yang wajar namun akan berdampak tidak baik bagi masa depan organisasi jika dibiarkan berlarut.
Hal yang terkadang dilupakan oleh banyak orang adalah sesungguhnya isu dibuat dan disebarkan sesuai dengan kepentingan si pembuat isu.
Sayangnya banyak orang yang terjerat pada satu pernyataan yang disebarluaskan dan berkembang liar.
Benarlah pernyataan pakar “isu yang tidak benar, namun diproduksi secara berulang, lambat laun akan dianggap menjadi sesuatu yang benar”.
Melihat fenomena ini, penulis tertarik untuk mengungkap satu keadaan yang familiar disebut dengan post truth era.
Sederhananya post truth era memiliki pengertian bahwa “kebenaran bukan berangkat dari fakta yang sebenarnya, tetapi dilihat dari seberapa banyak orang yang memproduksinya”.
Terminologi post truth
Penggunaan istilah Post-Truth sebenarnya pertama kali digunakan pada bulan Januari tahun 1992 dalam sebuah artikel pada Nation Magazine.
Artikel tersebut ditulis oleh seorang penulis keturunan Serbia-Amerika, Steve Tesich.