Pada tanggal 5 Mei 2020 kemarin Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru jumlah pengangguran terbuka pada bulan Februari 2020.
Dalam data tersebut, jumlah angkatan kerja bertambah sebanyak 1,73 juta orang dibanding Februari 2019 sehingga angkatan kerja Indonesia pada bulan Februari 2020 menjadi 137,91 juta orang.
BPS merilis jumlah penduduk bekerja di Indonesia sebanyak 131,01 juta orang. Dengan demikian besarnya jumlah pengangguran di Indonesia menjadi 6,88 juta orang. Pertambahan tingkat pengangguran dalam periode setahun terakhir sebanyak 60.000 ribu orang.
Data ini masih tergolong wajar karena selisih antara jumlah tenaga kerja yang terserap dengan jumlah pertambahan pengangguran berbeda sangat signifikan. Meskipun demikian, daya serap tenaga kerja kita perlu diperkuat lagi.
Dari data yang dirilis BPS selaku pusat data nasional, yang menarik adalah kontribusi tingkat pendidikan sebagai penyumbang jumlah pengangguran terbuka antara lain sebagai berikut; Sekolah Dasar (SD) menyumbang 2,64%, SMP 5,02%, SMA 6,77%, SMK 8,49%, Diploma (I/II/III) 6,76%, dan Universitas 5,73%.
Lulusan SMK mendominasi penyumbang terbesar Tingkat Pengangguran Terbuka, bukan hanya tahun ini melainkan sudah sejak sekiranya 3 tahun kebelakang.
Padahal menurut Permendikbud No. 34 tahun 2018 Tentang Standar Nasional Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan disebutkan SMK/MAK merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki tujuan pendidikan kejuruan yaitu menghasilkan tenaga kerja terampil yang memiliki kemampuan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dunia usaha/industri.
Serta mampu mengembangkan potensi dirinya dalam mengadopsi dan beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Mereka yang memilih SMK sebagai tingkat pendidikan atas paska menengah pertama menaruh harapan untuk langsung bekerja. Namun sayang harus dihadapkan realita sebagai kontributor terbesar penyumbang TPT.
Penayangan ini bukan tanpa alasan, SMK adalah sekolah dengan fokus mengasah keterampilan dan kemampuan sesuai bidang tertentu. Sehingga secara keahlian bekerja, SMK lebih unggul dibandingkan SMA.
Setidaknya ada beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebabnya.
Pertama, Sistem ajar SMK belum mampu merespon pembaharuan industri akibat perkembangan teknologi,
Kedua, faktor SDM lulusan SMK belum mampu bersaing sementara persaingan semakin ketat dalam pencarian kerja.
Ketiga, Ketidakcocokan (missmatch) antara menjamurnya beberapa jurusan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, sehingga terjadi oversuplay.
Melihat tiga faktor tadi, pemerintah seharusnya memberikan perhatian kepada sekolah-sekolah menengah kejuruan dengan mengevaluasi kebutuhan pasar dan perkembangan industri untuk kemudian dimasukan dalam sistem ajar sekolah sehingga lulusan SMK bisa memenuhi tuntutan perkembangan industri dan memiliki kualitas saing yang tinggi.
- Ditulis Oleh Renaldo Gizind Ketua Umum DPK GMNI Sriwijaya DPC Ogan Ilir Universitas Sriwijaya