Stigma masyarakat tentang demonstrasi belum berurubah.
Masyarakat Kerap menganggap bahwa demonstrasi hanya menyebabkan kemacetan lalu lintas, rusaknya fasilitas umum dan tindakan anarkis.
Mereka yang mengorbankan seluruh jiwa raganya untuk menyelamatkan negeri ini dari penindasan para petinggi negeri yang haus akan kekuasaan selalu menjadi korban.
Mereka yang dulunya siswa sekarang telah beralih menjadi mahasiswa.
Siapakah mahasiswa itu?
Mahasiswa adalah sebutan bagi mereka yang sedang menempuh pendidikan tinggi, baik Universitas negeri maupun swasta.
agen of change atau agen perubahan merupakan sematan gelar mahasiswa yang memiliki peran besar dalam kehidupan saat ini.
Sebagai penyambung lidah aspirasi rakyat kepada pemerintah serta jajarannya merupakan peran mahasiswa agar terciptanya stabilitas negara.
Jika pemerintah tidak mendengar suara rakyat, maka mahasiswa akan turun ke jalanan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat melalui demonstrasi.
Demonstrasi merupakan sebuah tindakan turun ke jalan oleh beberapa kalangan untuk menyuarakan aspirasi yang merugikan masyarakat.
Demonstrasi terjadi jika peraturan pemerintah merugikan kehidupan menurut rakyat kecil.
Aksi demonstrasi biasanya identik dengan mahasiswa, terkadang ada juga dari kalangan buruh, tani, anak-anak SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang juga ikut menyuarakan aspirasi masyarakat.
Stigma Demonstrasi mahasiwa selalu ricuh
Demonstrasi mahasiswa biasanya dikaitkan dengan kerusahan atau stigma tentang demonstrasi mahasiswa pun bermunculan.
Akan tetapi tak jarang niat awal mahasiswa melakukan demonstrasi secara damai.
Namun kerap berakhir ricuh dengan berbagai tindak kekerasan dari pihak aparat kepolisian. Seperti tembakan gas air mata, semprotan water canon bahkan tindakan kekerasan yang dapat melukai fisik.
Seperti yang terjadi di berbagai daerah saat penolakan UU Omnibus Law.
Daerah Istimewa Yogyakarta yang awalnya melakukan aksi damai tapi ternyata berakhir ricuh dengan tembakan gas air mata dari pihak aparat serta adanya penangkapan beberapa mahasiswa .
Kejadian tersebut bermula saat massa aksi ingin memasuki gedung DPRD yang berada di jalan malioboro.
Orasi politik belum dilakukan namun sudah dipukul mundur dengan tembakan gas air mata oleh aparat kepolisian.
Ada yang mengatakan hal tersebut bermula dari pelemparan petasan anak STM kepada aparat kepolisian dan memicu umpan balik dari polisi dengan penembakan gas air mata kepada seluruh massa aksi.
Namun semua orang beranggapan bahwa itu merupakan ulah mahasiswa.
Hancur dan terbakarnya sebuah toko yang bersebelahan dengan gedung DPRD terjadi akibat lemparan bom molotov oleh seseorang oknum.
Hal tersebut menjadikan citra mahasiswa menjadi rusak bahkan viral di media sosial seperti twitter, instagram maupun facebook tentang mahasiswa Yogyakarta yang melakukan aksi anarkis.
Akan tetapi semua yang terjadi bukan dari kalangan mahasiswa, hanya saja para netizen tidak mengetahuinya.
Bukti kuat pembekaran tersebut bukan dari mahasiwa terlihat dari salah satu CCTV yang terpasang pada daerah tersebut.
Bahwa semua yang terjadi bukan ulah dari tangan mahasiswa yang mengikuti aksi .
Namun, peristiwa tersebut tidak hanya terjadi di Yogyakarta dan bahkan hampir di seluruh daerah yang ada di Indonesia terjadi kericuhan.
Tetapi ada juga pemerintah daerah yang menerima aksi dan tuntutan mahasiswa secara damai.
Jadi seluruh stigma tentang mahasiswa anarkis ataupun biang masalah rusaknya fasilitas yang ada merupakan pernyataan yang salah.
Mahasiswa hanya berusaha untuk membantu masyarakat kecil untuk menyuarakan keadilan demi kesejahteraan rakyat.
Serta mengembalikan hak-hak yang seharusnya didapatkan tapi malah tidak diberikan atau di ambil oleh para tikus negara tersebut.
Oleh : Mila Mutiara Choirunisa (Kader IMM FAI UMY)