Cendekiawan, sebuah kata yang tak asing lagi didengar di ikatan ini. “Kitalah cendekiawan berpribadi” begitulah sepenggal lirik yang selalu dinyanyikan oleh kader-kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah setiap agenda IMM.
Hal yang menarik untuk dibahas tentang kenapa kata cendekiawan bukan intelektual yang dipakai, padahal dalam Tri Kompetensi IMM memakai Intelektualitas.
Dalam KBBI cendekiawan adalah orang yang cerdik, pandai, intelek, memiliki sikap yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk mengetahui sesuatu.
Menurut M.Quroish Shihab seorang cendekiawan memiliki dua fungsi yaitu dzikir dan fikir.
Dzikir sebagai salah medium untuk senantiasa mengingat Allah SWT dan fikir untuk mengupas dan mengetahui inti permasalahan serta memberikan solusi.
Keduanya saling terkoneksi dan terintegrasi, kecerdasan membuat kita cepat sampai pada tujuan dan keimanan menunjukkan arah kepada tujuan.
Sedangkan Intelektual adalah orang yang cerdas, berakal dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan.
Secara definisi di atas terlihat jelas perbedaan antara cendekiawan dan intelektual.
Konkritnya, seorang intelektual adalah orang-orang yang cerdas secara akademik-teoritis.
Sedangkan cendekiawan tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga aplikatif dan solutif dalam menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.
Jadi, semua orang yang duduk di dunia akademisi dengan disiplin ilmu yang dimiliki adalah seorang intelektual tetapi mereka tidak bisa disebut sebagai cendekiawan apabila intelektualitas mereka tidak mampu diaplikasikan dan dirasakan manfaatnya di tengah-tengah masyarakat.
Siapa Cendekiawan yang Sebenarnya ?
Ali Syari’ati, seorang revolusioner Iran menggunakan istilah Rausyan Fikri untuk menyebut cendekiawan.
Menurutnya, Rausyan Fikri adalah individu-individu yang memiliki tanggung jawab dan misi sosial.