Barangkali tulisan ini agak ngawur, karena membahas soal suatu fenomena yang sudah lewat beberapa waktu yang lalu, namun biarlah, mau bagaimana pun, ini tetap menarik untuk diulas. Baru saja lebaran usai, akan tetapi masih ada kenangan indah mengenai perhelatan lebaran tahun ini. Kalau tidak salah, adanya larangan mudik. Mengapa saya mengatakan itu sebagai kenangan indah? Saya hanya meminjam dari petuah kakek saya, bahwa ambil hikmah dari kejadian apa pun, maka semua akan berubah indah.
Kembali lagi pada persoalan mudik, saya sendiri sebagai salah satu anak rantau, yang barangkali mengalami keberuntungan, lantaran bisa mudik di lebaran tahun ini, itu pun karena jarak dari rumah saya ke tempat perantaun terbilang dekat, hanya ditempuh kurang dari 2 jam. Lalu, bagaimana dengan kawan, saudara, dan sanak kita yang belum bisa mudik tahun ini? Dengan penuh rasa hormat, saya sampaikan bersabar saja dan ambil hikamahnya. Mungkin, benak sebagian orang mengatakan ; lho bukannya larangan mudik ini diterapkan sebagai langkah dalam memutus rantai pandemi? Kembali lagi, jika berbincang – bincang soal pandemi kok rasanya seperti tidak ada habis – habisnya ya? Apa – apa dikaitkan dengan covid, bidang mana saja selalu ditautkan dengan covid. Ya, mau bagaimana lagi, memang seperti itu kenyatannya. Namun, pada kesempatan kali ini, melalui tulisan ini, saya mau membahas soal larangan mudik yang cukup menggelitik bagi siapa saja yang mendengar. Karena berbagai macam polemik yang melatarbelakanginya.
Larangan Mudik Tahun Ini dan Tahun Lalu
Pertama, larangan mudik tahun ini sama saja dengan tahun lalu. Saya mengkaji berdasar analisis – subjektif, larangan mudik tahun ini, tidak ada bedanya dengan larangan mudik tahun lalu, hanya sebagai ajang aktualisasi program kerja yang cenderung abstrak. Di media sosial, seakan – akan kebijakan ini sangat luar biasa, penyekatan dimana – mana, polisi menghadang kendaraan, menyuruh putar – balik arah ke kota asal . Eh, belum sampai itu tergoreng, fakta berkata lain – masih banyak pengendara dengan tujuan ke kampung halaman, lolos dari cegatan, bisa mendaratkan kakinya di kampung halaman, di rumah tercinta. Dilansir dari CNN Indonesia, Kemenhub mencatat terdapat 1,5 juta orang lolos mudik. Sekarang pertanyaan pun timbul, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jawabannya satu, ialah kelalaian dan ketidakseriusan.
Kedua, ada yang aneh dengan larangan mudik tahun ini, yakni dibarengi dengan kebijakan pembukaan tempat wisata secara lokal. Terjadi kontradiktif kasus di sini jika delik utamanya lagi – lagi soal pandemi. Di satu sisi pemerintah menerbitkan peraturan larangan mudik sebagai upaya preventif dalam memutus mata rantai covid, sedangkan di sisi lain secara bersamaan pula, pemerintah secara terang – terangan, membuka wisata yang bisa jadi – menjadi musabab covid kian melanda.
Kilas Balik Covid-19 di Tahun 2020
Ketiga, saya sebenarnya kurang begitu teteg ketika membahas soal ini, karena tidak jauh-jauh dari sisi perpolitikan negeri ini, tapi ya bagaimana lagi. Mari kita bedah, dan pembahasan utamanya mengenai mudik dan pilkada serentak. Tahun 2020 lalu, tepatnya sudah memasuki babak akhir tahun, pemerintah melalui lembaga terkait, tetap mengadakan pesta demokrasi yang jelas–jelas akan menjadi faktor masifnya penyebaran covid 19. Bagaimana tidak? Masih lekat dalam relung pikiran ini, Pilkada serentak tetap dilaksanakan dengan sistem datang ke-TPS, padahal pada kala itu masih ada kasus covid 19. Sedangkan mudik? Kok, bisa – bisanya malah dilarang, padahal kalau dikaji lebih mendalam, sebetulnya sama saja. Pilkada, mesti alibi pemerintah bisa dilakukan dengan penerapan protokol kesehatan dan berada di wilayah masing-masing atau dalam hal ini TPS.
Akan tetapi ujung-ujungnya tetap banyak orang yang bergerombol. Parahnya, banyak warga yang tidak pakai masker, tidak cuci tangan, tidak segera pulang malah urun rembug membahas yang kurang greget, haduhh, sangat miris. Atau mungkin, khusus perihal yang ada unsur politisnya, pemangku kepentingan, tetap memprioritaskannya.
Efektivitas Larangan Mudik
Keempat, yang sangat menggelitik ubun – ubun saya adalah, kiranya larangan mudik ini hanya dijadikan sebagai ajang formalitas belaka, implikasinya jelas, bahwa kebijakan ini tidaklah efektif, buktinya, melansir dari CNN Indonesia malah sebanyak 4.123 orang terkonfirmasi positif covid 19 akibat mudik. Barangkali benar adanya bila di beberapa pos penyekatan begitu ketat. Tapi hal tersebut tidak dapat diglorifikasikan begitu saja, masih banyak di beberapa pos penyekatan yang kurang ketat alias masih mudah diterobos.
Berangkat dari sekelumit polemik itulah, yang kemudian membawa pada kurang efektifnya penerapan larangan mudik, wabil khusus pada tahun ini. Perkara semacam ini, memanglah sangat mudah mendapat perhatian publik, bahwa ketika orang – orang yang merantau jauh nan bekerja selama satu tahun lebih. Sudah memersiapkan berangkat menuju, eh malah gagal total karena pemberlakuan kebijakan larangan mudik ini. Bukan berarti, saya mendukung untuk pemerintah tidak menerapkan larangan mudik, sekali lagi tidak.
Apakah Larangan Mudik Kebijakan yang Tepat?
Saya sepakat, ketika larangan mudik ini diberlakukan, dengan berbagai dalih yang menjadi fakto fundamentalnya. Mengingat, kasus covid – 19 di Indonesia, entah kapan akan berakhir. Akan tetapi, tidak serta merta kebijakan dibuat hanya sebagai ajang formalitas belaka, tidak seperti itu. Seyogyanya, pemerintah punya master plan kebijakan jangka panjang untuk penangan covid 19. Seperti, pelaksanaan pilkada serentak, saya yakin itu bukan ujug – ujug dilaksanakan, pasti melewati beberapa kaidah yang ada. Permasalahannya adalah keputusan yang dibuat oleh orang – orang dijajaran pemerintah malah membuat rakyatnya geleng-geleng kepala. Pun dengan mudik, biar bagaimana pun, mudik ini merupakan suatu hal yang sakral. Bahkan, lebaran tidak berarti bila tidak mudik, itulah paradigma masyarakat Indonesia.
Ketika kebijakan larangan mudik diterapkan, pastinya mendapat sorotan yang kentara. Dan harusnya diimbangi dengan kebijakan – kebijakan lain yang seragam. Jangan pilih kasih, sungguh itu tidak baik. Masak, mudik dilarang, wisata boleh atau pilkada juga boleh. Jika alasannya hanya karena perkara ekonomi dan stabilitas politik, harusnya pemangku kepentingan, yang berisi orang – orang pintar nan penuh kewibawaan membuat formula lain yang tidak memicu kecemburuan sosial. Ingat, masyarakat Indonesia itu bar-bar. Ingat juga, negara ini milik semua orang yang ada di dalamnya, seperti yang diungkapan oleh founding father, Bung Karno; bahwa negara ini, Republik Indonesia bukan milik kelompok manapun, juga agama, atau kelompok etnis manapun, atau kelompok dengan adat dan tradisi apa pun, tapi milik kita semua dari sabang sampai merauke.
Sudah jelas, bahwa kepentingan bangsa secara umum dan keseluruhan, jauh lebih penting ketimbang apa saja. Oleh karenanya, larangan mudik tidaklah salah jika alasan utamanya untuk penekanan kasus covid 19. Karena memang demi hajat hidup banyak orang. Tapi kurang tepat, ketika tidak dibarengi dengan kebijakan – kebijakan sentral lain. Maka sekali lagi semua harus berimbang dan tidak berat sebelah.
Oleh : Irvan Ulvatur Rohman (Ketua Umum PK IMM Utsman Bin Affan, Universitas Muhammadiyah Ponorogo)