Cita-cita Hebat Putri Ningrat
Meskipun lahir di tanah Sunda, Pratiwi Sudarmono sejatinya orang Jawa, bahkan ia berasal dari kalangan bangsawan. Kakeknya termasuk golongan ningrat dari Kesultanan Surakarta Hadiningrat.
“Saya orang Jawa, dari kalangan aristokrat. Bahkan dalam keluarga saya sendiri, feodalisme saya rasakan di kehidupan sehari-hari,” ungkap Pratiwi suatu kali, dikutip dari Indonesian Destinies (2009) karya Theodore Friend.
“Jika Anda dari darah biru,” imbuhnya, “Anda bisa duduk di depan pada upacara pernikahan, sementara orang-orang hanya duduk di belakang. Bahkan, di Yogyakarta atau Solo, gelar raden mas masih digunakan di universitas. Anda harus tunduk kepada tingkat yang lebih tinggi dan Anda tidak bisa memecatnya.”
Pratiwi menambahkan, “Saya tidak bisa menjadi profesor walaupun saya memiliki gelar Ph.D., tidak bisa, karena orang yang lebih tua belum memilikinya. Bahkan tanpa pencapaian ilmiah, ia akan mendapatkannya terlebih dulu. Hal-hal semacam ini telah dipraktikkan sejak zaman Belanda.”
“Bagi wanita, lebih buruk lagi, kita harus berjuang dua atau tiga kali lipat untuk mendapatkan penghargaan atas pencapaian kita,” tutupnya.
Sebagai putri Jawa yang konon penuh dengan aturan, Pratiwi Sudarmono akhirnya mampu membuktikan bahwa perempuan juga bisa menjadi apapun selayaknya kaum pria, bahkan untuk keinginan yang barangkali dianggap terlalu tinggi bahkan mustahil.
Mimpi yang nyaris tercapai
Pada 1985, pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan NASA (National Aeronautics and Space Administration), lembaga antariksa milik Amerika Serikat. Kemitraan ini dalam rangka misi Wahana Antariksa atau Space Shuttle yang rencananya bakal dijalankan pada 24 Juni 1986 dengan menggunakan pesawat ulang-alik Columbia.
Misi ini bertujuan membawa tiga satelit komersial, yaitu Skynet 4A, Palapa B3, dan Westar 6S. Palapa B3, sebut Christian Lardier dan Stefan Barensky dalam The Proton Launcher: History and Developments (2018), merupakan satelit milik Indonesia. Pemerintah RI pun merasa perlu melibatkan astronot sendiri.
Terpilihlah Pratiwi Sudamono sebagai wakil Indonesia dalam misi itu. Ia akan berperan sebagai Spesialis Muatan untuk pesawat ulang-alik Columbia. Pratiwi mengalahkan 207 kandidat, termasuk di antaranya 25 wanita.
Saat itu, ia masih berprofesi sebagai peneliti di bidang genetika dan mikrobiologi serta mengajar di UI. Selain Pratiwi, ditunjuk pula Taufik Akbar, seorang insinyur telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Taufik akan mendampingi Pratiwi sekaligus menjadi awak cadangan dalam misi bertajuk STS-61-H yang bakal diluncurkan dari Amerika Serikat tersebut. Sontak, sosok Pratiwi naik daun.
Banyak media, dari dalam maupun luar negeri, memberitakan pencapaian sang Kartini modern ini. Pratiwi menjadi ikon wanita dari Indonesia sebagai calon astronot perempuan pertama Asia yang segera mengangkasa.