Sejak dua pekan terakhir, demonstrasi oleh masyarakat beberapa desa di Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara berlangsung bergantian. Aksi massa di mulai lebih dahulu oleh warga Desa Hutapuli, Kecamatan Siabu pada 16 Juni 2020. Dua hari setelah itu, warga Desa Aek Bingke, Kecamatan Panyabungan Utara melakukan aksi serupa.
Tidak hanya itu, pada 29 Juni 2020 aksi serupa terjadi di Desa Mompang Julu, Kecamatan Panyabungan Utara.
Ketiga aksi yang dilakukan oleh masyarakat di atas memiliki tuntutan yang sama, yaitu meminta kepala desa masing-masing untuk melepaskan jabatannya.
Masyarakat menilai dana desa yang dianggarkan untuk bantuan covid-19 di salahgunakan oleh kepala desa. Berdasarkan pengakuan beberapa masyarakat di ketiga desa, bahwa nominal yang mereka terima tidak sesuai dengan apa yang telah dituangkan di Peraturan Kementrian Pedesaan, Transmigrasi, dan Daerah Tertinggal yang seharusnya Rp. 600.000 tetapi sebagian masyarakat hanya mendapatkan Rp.200.000 bahkan ada yang Rp. 50.000.
Hal ini semakin memicu kemarahan dan kecurigaan warga karena desa-desa lain mendapatkan nominal yang sesuai dengan yang sudah dianggarkan pemerintah. Di tambah lagi, menurut keterangan beberapa warga sasaran bantuan tidak tepat.
Kepala desa dinilai nepotisme karena bantuan diberikan terhadap aparat dan sanak saudaranya yang belum tentu masuk dalam kategori miskin.
Aksi yang dilakukan massa di tiga desa tersebut dilakukan dengan memblokade Jalan Lintas Sumatera dengan berkumpul dan orasi beramai-ramai, membakar ban, dan menumpukkan atribut rumah tangga di tengah jalan, hingga memasak di tengah jalan.
Hal ini terjadi atas kekecewaan warga terhadap pembagian bantuan oleh pemerintahan desa di tengah sulitnya perekonomian masa pandemi ini. Aksi warga dengan memblokade jalan tidak sepenuhnya bisa dibenarkan, karena menghambat arus lalu lintas pada waktu kejadian.
Namun hal yang urgen dari itu adalah kepekaan pemerintah daerah yang kami nilai kurang cepat dalam menangani kasus demikian hingga blokade jalan berlangsung 3 jam. Parahnya lagi, di Desa Mompang Julu pada 29 Juni 2020 blokade jalan dan pembakaran mobil dinas Wakapolres terjadi diluar kendali.
Jika kita melihat rencana aksi pencegahan korupsi oleh pemerintah pusat, satu poin penting yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah adalah penguatan pelaksanaan reformasi birokrasi.
Meski isu koruspi yang diprioritaskan pada Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Perpres STRANAS PK) yakni perbaikan kelola pengadaan barang dan jasa, dan perbaikan tata kelola pengadilan terpadu. Dari dua isu tersebut, bahwa pemerintah belum secara sungguh-sungguh melaksanakan fungsi pencegahan korupsi.
Pada tahun pertama pelaksanaan STRANAS PK, perbaikan tata kelola pengadaan barang dan jasa baru bersifat administratif. Padahal salah satu persoalan dalam pengadaan adalah upaya untuk memecah paket agar menghindar dari proses lelang. Hal ini yang membuat mekanisme check and balances terhadap proses pengadaan tidak terjadi dan menutup ruang bagi masyarakat untuk melakukan pemantauan.
Terkait dengan perbaikan tata kelola pengadilan terpadu pun tidak berjalan cukup baik. Salah satu indikator yang paling dasar yaitu pengiriman data SPDP online oleh kepolisian dan kejaksaan ke KPK.
Melihat keterangan tersebut, bahwa tidak semua sektor akan di prioritaskan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dugaan korupsi akar rumput di wilayah pedesaan akan luput dari pantauan KPK. Oleh karena itu, pemerintah daerah yang harus berada di garda terdepan untuk mengantisipasi korupsi yang dilakukan seluruh jajarannya di pemerintahan, sampa ke desa/dusun.
Sayangnya, dugaan korupsi dana desa misalnya, yang dilaporkan masyarakat ke Inspektorat Kabupaten Mandailing Natal tidak mendapatkan respon yang sesuai. Misalnya, masyarakat Desa Gunung Tua Jae, Kecamatan Panyabungan telah melaporkan kepala desa dengan dugaan kasus korupsi dana desa.
Namun hingga saat ini, belum ada tindaklanjut dari pihak inspektorat untuk memanggil dan melakukan penyidikan terhadap kepala desa tersebut. Pada akhirnya, masyarakat menilai pemerintah daerah sudah “main mata” dengan pejabat pemerintah di desa. Tentu hal ini menjadi catatan hitam bagi terwujudnya Indonesia yang bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
- Ditulis oleh Nurfauzy Lubis