Berbagai fenomena kembali bermunculan mengenai persoalan yang kian berputar dan seakan tak berujung akibat faktor dari mulut ke mulut.
Fakta telah bercampur dengan opini sehingga hal yang seharusnya dapat terselesaikan dengan pasti kini menjadi suatu hal yang rumit untuk diperbincangkan.
Pasalnya, telah muncul berbagai penjelasan yang mengungkit terkait permasalahan ini namun entah mengapa orang lebih cenderung menyukai hal yang berbau opini dibanding fakta yang ada.
Maka dari itu, tulisan ini pun hadir sebagai jembatan penghubung antara harapan ekspektasi dengan realita yang dicampakkan.
Pengaruh realita tidak dihiraukan lagi, kecenderungan masyarakat terhadap ekspektasi pada diri seorang wanita yang menganut sebuah agama kian memuncak saat tertegun memandangi elok rupa dari salah seorang muslimah tanah air yang dipandang sebagai sosok yang sempurna.
Bagi mereka, kesempurnaan telah ada pada diri muslimah tersebut.
Bagaimana tidak, wajah yang rupawan, suara indah nan merdu ketika melatunkan shalawat, dan gaya pakaian agamis yang menjadi tren anak muda masa kini, dijadikan patokan kesempurnaan sehingga mereka lupa bahwa wanita tersebut hanyalah seorang manusia biasa.
Stigma Masyarakat Terhadap Perempuan
Setelah sekian lama realita merasa dicampakkan, hingga akhirnya membuka suara dengan memperlihatkan kelemahan dari muslimah tersebut. Ekspektasi yang telah dibangun oleh masyarakat seketika runtuh dan tak sedikit yang balik menyerang seakan-akan kunci surga ada pada mereka.
Beberapa dari mereka menyalahkan jilbabnya, pakaian tertutupnya, bahkan sholawat yang pernah dilantunkannya pun ikut terseret di dalam kelemahan yang terungkap sehingga membuka tabir masyarakat bahwa lebih baik membaikkan hati terlebih dahulu dibanding membaikkan penampilan.
Baca Juga: Apa Kabar Wanita Akhir Zaman?
Allah Ta’ala berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).
Berdasarkan ayat tersebut, dapat kita lihat bahwa adanya perintah bagi setiap muslimah untuk menutup aurat dengan menggunakan jilbab atau pakaian tertutup yang dapat menutupi seluruh tubuh.
Hal ini diperintahkan agar kita sebagai muslimah dapat bekerja sama dengan lawan jenis untuk saling menjaga pandangan satu sama lain dimana dalam penggalan ayat lain dikatakan bahwa pandangan mata dapat menjadi awal mula dari perbuatan zina.
Maka dari itu, sungguh sangat disayangkan bila perintah yang bersifat wajib dan umum ini berubah menjadi sunnah dan khusus hanya karena berdasarkan ekspektasi yang sengaja dibuat kepada seorang manusia biasa tanpa memperhatikan realita yang ada.
Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka.
Tetapi wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya:, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890).
Berdasarkan hadits tersebut, dipaparkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam turut membenarkan firman Allah Subhanahuwata’ala terkait hendaknya seorang muslimah jika ingin keluar rumah namun terdapat lawan jenis.
Maka muslimah tersebut wajib untuk menutup apa yang telah dikategorikan sebagai aurat yakni seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Maka dari itu, saudariku sekalian. Mari kita bergerak bersama untuk saling mengingatkan sesama muslimah bahwasanya jilbab dan pakaian tertutup merupakan hal wajib yang harus dilaksanakan sebelum kita membaikkan hati.
Mengapa demikian, karena hati yang baik dapat terbentuk dari kesadaran akan mengutamakan hal-hal yang hukumnya wajib namun tidak pula melupakan hal yang sunnah.
Jadi, pemberian ekspektasi yang dibangun tanpa kesadaran akan realita yang ada hanya akan menimbulkan kekecewaan terutama jika hanya berharap kepada manusia biasa.
“Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.“ (Ali bin Abi Thalib R.a)
Oleh: Islami Rasyid