Manusia diciptakan di dunia sebagai makhluk sosial dan ekonomi. Allah menciptakan manusia beserta akalnya untuk menciptakan barang atau jasa guna memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sejatinya, mereka tidak dapat menciptakan segalanya sendirian karena keterbatasan dan orang lain juga memiliki peran yang harus dijalankan.
Sebagai the human economy, wajar melakukan kegiatan berupa produksi, distribusi, atau konsumsi. Mereka biasa melakukan transaksi dalam kegiatan sehari-hari di pasar tradisional, pasar modern, atau marketplace. Tawar-menawar dalam transaksi kerap terjadi agar memunculkan kesepakatan bersama atau prinsip sama-sama ikhlas.
Ketika melakukan transaksi di pasar offline atau online, tidak jarang menemukan kata “barang yang sudah di beli tidak dapat dikembalikan” atau sejenisnya. Pelaku usaha biasa menempelkan kata-kata tersebut di area toko atau bisa saja tidak sama sekali.
Kalimat “barang yang sudah di beli tidak dapat dikembalikan” sangat menguntungkan pelaku usaha dan merugikan konsumen. Pelaku usaha bisa saja menjual barang yang cacat atau tidak sesuai dengan permintaan konsumen. Imbasnya, konsumen menerima barang cacat dan pada saat ingin return ke pelaku usaha, mereka bisa saja menolak dengan alasan barang tidak dapat dikembalikan.
Konsumen yang posisinya lemah dilindungi oleh UU No. 8 tahun 1999 tentang Hukum Perlindungan Konsumen. Dalam konteks ini, pelaku usaha telah melakukan pencantuman klausula baku yang dilarang karena menyatakan bahwa mereka berhak menolak penyerahan kembali barang yang telah dibeli oleh konsumen sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 8 tahun 1999.